Profil

Rabu, 22 Agustus 2012

Rabu, 27 Agustus 2008

Artikel

Membangun Kesalehan Ritual, Sosial, dan Moral

(Tanggapan atas Tulisan Sdr. Rifqi Muslim berjudul Isra' Mi'raj, Membangun Kesalehan Sosial) ¨

Oleh: DR. Wajidi Sayadi, M.Ag.¨

Tulisan sdr. Rifqi Muslim (Pontianak Post, Rabu, 30 Juli 2008) berjudul Isra' Mi'raj, Membangun Kesalehan Sosial adalah sangat menarik. Realitas sosial saat ini umat Islam terkadang kesalehan ritualnya tidak seimbang dengan kesalehan sosial dan moralnya. Kesalehan ritualnya rajin namun kesalehan sosial kemanusiaan dan moralnya lemah dan cukup memprihatinkan. Misalnya, rajin shalat, puasa, dan bolak balik umrah dan haji tapi tidak peduli nasib kemiskinan dan penderitaan sesamanya yang ada di lingkungannya. Hakekat shalat bukan hanya pada gerakan ruku', sujud, dan bacaan rutinitasnya, melainkan bagaimana mengapilkasikan makna gerakan dan bacaan dalam shalat itu ke dalam realitas sosial kemanusiaan. Rajin shalat, tapi rajin juga berbuat maksiat. Rajin shalat berjamaah di masjid, tapi di luar masjid sering berkelahi, memfitnah sesamanya, dan tidak mau peduli terhadap nasib penderitaan sesamanya. Upaya membangun kesadaran akan kesalehan sosial kemanusiaan umat Islam adalah bagus, namun harus dengan cara yang bagus pula. Kesalehan sosial bukan hanya didasarkan pada banyaknya memberikan manffat kepada orang lain, tapi amal yang dilakukan itu didasarkan iman dan ikhlas serta sesuai dengan syariat. Membantu orang lain dengan sesuatu yang berasal dari barang curian dan rampokan, bukanlah amal saleh. Sebab tujuannya baik, tapi caranya tidak benar, melanggar aturan syariat.

Ada beberapa hal yang membuat kami tertarik menanggapi tulisan Sdr. Rifqi Muslim tersebut, di antaranya karena ia menyebut beberapa hadis Nabi SAW. lalu diberi komentar apa adanya dan berkesimpulan sendiri. Hadis Nabi SAW. adalah salah satu sumber hukum Islam selain al-Qur'an, sehingga mengomentari hadis-hadis Nabi SAW. tidak seperti mengomentari teks-teks lain, pernyataan cendikiawan, pengamat politik, ahli ekonomi, dan lain-lain. Kalau keliru, akan menimbulkan implikasi hukum yang cukup fatal dalam masalah pemahaman dan keyakinan dalam beragama. Pertanggungjawabannya, bukan hanya di dunia, tapi sekaligus juga di akhirat. Membaca dan mempelajari hadis Nabi SAW. ada dua hal yang harus diperhatikan; pertama, wurud atau sumber hadis itu. Kedua, dilalah atau makna kandungan hadis itu. Wurud atau sumber hadis itu, apakah sudah benar berasal dari Nabi SAW. atau bukan? Oleh karena itu, kalau ada riwayat perlu dicantumkan dari mana sumber riwayat itu, apakah dari sahabat atau tabiin, dan siapa yang meriwayatkannya. Jangan sampai pernyataan seorang sahabat, ahli hikmah atau kata-kata mutiara dan sudah terlanjur populer dianggap sebagai hadis. Pernyataan seseorang lalu diklaim sebagai hadis Nabi SAW itulah yang disebut hadis palsu. Penelusuran hadis dari sisi sumber inilah yang kemudian muncul istilah ada hadis sahih, hasan, daif, dan maudhu' atau palsu. Memahami makna kandungan suatu hadis juga ada kaedahnya yang sudah dirumuskan oleh para ulama, di antaranya harus mengacu kepada al-Qur'an dan membandingkannya dengan hadis-hadis lain yang mengandung makna yang sama serta mempertimbangkan situasi dan konteks yang melatarbelakangi serta tujuan Nabi SAW. bersabda dan melakukan sesuatu, serta apakah bahasa Nabi SAW. menggunakan bahasa kiasan atau makna yang sebenarnya. Jadi, tidak memahami satu-satu hadis secara tekstual saja.

Sdr. Rifqi Muslim mengatakan bahwa sebelum menginjak pada wilayah transendental, hubungan kepada Allah (hablun minallah) lebih didahulukan hubungan sosial. Asumsi ini didasarkan pada sebuah riwayat yang diklaim sebagai hadis "Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bisa bermanfaat bagi manusia yang lain". Kata Rifqi Muslim, di sini, Nabi tidak menyatakan bahwa "manusia yang terbaik adalah mereka yang taat beribadah". Selanjutnya, ia mengatakan bahwa, sebelum menginjak pada wilayah ketuhanan, terlebih dahulu, perhatikan keadaan sekeliling kita yang sampai saat ini keberadaannya masih dipertanyakan. Ini sesuai dengan hadis yang menyatakan bahwa "Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya".

Menurut hemat kami, ada beberapa kekeliruan dalam memahami teks-teks agama yang dilakukan oleh Sdr. Rifqi Muslim, khususnya hadis-hadis tersebut. Di antaranya, teks yang diklaim sebagai hadis Nabi dan dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. "Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya" Teks ini sebenarnya bukan hadis Nabi SAW. melainkan hanyalah ucapan seseorang yang bernama Yahya ibn Mu`adz ar-Razî. Pernyataan seseorang lalu diklaim sebagai hadis, itulah yang disebut hadis palsu. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Al-`Ajlûnî dalam Kasyf al-Khafâ' menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah (728 H/1328 M) menilai hadis ini sebagai hadis palsu. An-Nawawi (676 H/1277 M) menyebutnya sebagai laisa bi tsabit (tidak mengakuinya sebagai hadis). Al-Albanî menilai sebagai bukan hadis, tidak ada dasar dan sumbernya (lâ ashla lahû). Membuat dan menyebarkan hadis palsu sangat dilarang, sebab dapat merusak kemurnian ajaran Islam. Imam Bukhari meriwayatkan dari sahabat Salamah ibn `Amr, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa yang mengatakan sesuatu atas namaku padahal aku sendiri tidak mengatakannya, maka siap-siaplah menempati posisinya dalam neraka."

Lalu pemahaman dan kesimpulan Rifqi Muslim bahwa sebelum menginjak pada wilayah ketuhanan, terlebih dahulu, perhatikan hubungan sosial. Bahkan katanya, nabi tidak menyatakan bahwa "manusia yang terbaik adalah mereka yang taat beribadah. Pemahaman dan kesimpulan seperti ini keliru dan justru bertentangan dengan firman Allah "Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang pada hablun minallah dan hablun minannas". (QS. Ali 'Imran: 112). Ayat ini dengan sangat jelas dan tegas mendahulukan hablun minallah daripada hablun minannas. Dalam ayat lain Allah berfirman: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Al-Hujurat: 13). Bertakwa ialah menjalankan perintah Allah di antaranya dengan cara taat beribadah kepada Allah dan menjalankan kewajiban sosial kemanusiaan dengan bermoral serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Ada hadis yang diriwayatkan Bukhari, Nabi SAW. bersabda: "Sebaik-baik manusia di antara kalian adalah orang yang belajar al-Qur'an dan mengajarkannya. Ada seseorang bertanya kepada Nabi SAW. Amal apa yang harus aku lakukan sehingga aku masuk surga? Beliau menjawab: Beribadahlah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, dirikan shalat fardhu, tunaikan zakat wajib, dan puasa pada bulan Ramadhan, (HR. Bukhari). Ada juga yang bertanya kepada Nabi SAW. Amal apa yang paling utama? Beliau menjawab: "Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, (HR. Bukhari). Ada lagi yang bertanya, amal apa yang paling utama? Beliau menjawab: "Shalat pada waktunya", (HR. Bukhari). Ada lagi bertanya amal apa yang terbaik dalam Islam? Beliau menjawab: "Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang lain, (HR. Bukhari). Masih banyak lagi teks hadis-hadis seperti ini yang menunjukkan keutamaan amal tertentu. Nabi SAW. menyebutkan keutamaan dan kemuliaan pada suatu amal tertentu sesuai dengan konteks siapa yang bertanya, kapan dan dimana. Oleh karena itu, membaca hanya satu hadis langsung berkesimpulan tanpa memperhatikan konteksnya dan perbandingan hadis-hadis lainnya, bisa keliru dalam pemahaman dan kesimpulan.

Dalam konteks pemahaman mengenai hikmah dari peristiwa Isra' Mi'raj Nabi SAW. adalah diwajibkannya shalat. Persoalannya sekarang ialah bagaimana meningkatkan kualitas shalat sehingga mampu membangun kesadaran akan kesalehan ritual, sosial, dan moral? Bagaimana menerjemahkan makna dan nilai shalat dalam bentuk gerakan dan ucapan rutinitas itu ke dalam realitas sosial kemanusiaan yang bermoral. Di antaranya dengan memahami makna ucapan dan gerakan dalam shalat itu. Misalnya dalam shalat, dua hal pokok yang merupakan kuncinya, yaitu pembukaan dan penutupnya.

Pada pembukaan shalat diawali dengan Takbir al-Ihram (Allahu Akbar). Makna simboliknya adalah sebagai ikrar dan pengakuan terhadap syahadat pertama, yakni tauhid, mengakui keesaan dan kebesaran Allah sebagai tempat bertolak dan hanya kepadaNya kita kembali menghadap dan menyerahkan segalanya. Dan yang kedua, pada penutupan shalat melalui bahasa as-Salam, yaitu dengan mengucapkan “Assalamu‘alaikum Wa Rahmatullah”. Mengucapkan as-Salam ini sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, mengandung arti simbolik bahwa kita seolah-olah berikrar dan berjanji di hadapan Allah bahwa kita bersedia dan selalu berbuat sesuatu yang membuat keselamatan, kedamaian, dan ketentraman terhadap orang lain di sekeliling kita dan lingkungan tempat di mana kita berada. Pengakuan dan pembuktian seperti ini sebagai makna persaksian dalam syahadat kedua, yaitu meneladani Nabi Muhammad SAW. dalam realitas kehidupan sebagai Rahmatan lil alamin, kasih sayang bagi semesta alam. Dengan demikian, persoalannya bukan pada soal mendahulukan kesalehan sosial baru kemudian masuk wilayah ketuhanan dan kesalehan ritual. Jelasnya adalah tauhid kepada Allah sebagai basis fundamental harus membuahkan hasil berupa ibadah dan kesalehan sosial kemanusiaan bermoral. Wallahu A'lam bi ash-Shawwab.



¨ Dimuat di Pontianak Post, Senin, 5 Agustus 2008

¨ Dosen Tafsir dan Hadis Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.

Minggu, 16 Maret 2008

Artikel

MEMAHAMI BAHASA AGAMA [1]

Oleh: Wajidi Sayadi[2]

Ada beberapa cara dalam memahami bahasa agama, di antaranya melalui pendekatan sejarah, pendekatan hukum secara normatif, dan pendekatan filosofis atau hikmah di balik ketetapan agama itu. Hampir seluruh prosesi kegiatan ibadah dalam Islam dan ketetapan ajaran lainnya dapat dipahami dengan pendekatan seperti ini. Selama ini ibadah dan ritual lainnya dalam Islam umumnya dipahami dengan pendekatan hukum semata. Hampir semuanya dilihat dalam kacamata hukum; seputar antara wajib, sunnat, haram, dan makruh. Ketika diingatkan agar berkurban di hari raya Idul Adha ini, dijawabnya bahwa berkurban itu hukumnya tidak wajib, hanya sunnat muakkad saja. Pada saat yang sama, diingatkan agar tidak terlalu banyak merokok akibatnya bisa merusak kesehatan, jawabannya, merokok itu tidak haram, tidak ada dalil yang mengharamkannya. Demikian pula dalam masalah ibadah ritual, hampir semuanya dilihat dalam perspektif hukum saja. Terkesan pendekatan hukum yang lebih dikedepankan inilah yang kemudian terkadang sampai pada taraf seringkali saling menyalahkan dengan menggunakan istilah bid`ah alias haram dilakukan dan merasa dialah yang paling benar. Rasa tawadhu` dan wara` terkadang diabaikan. Oleh karena itu, pendekatan filosofis atau dalam arti meneropong ruang hikmah yang terkandung dalam prosesi ibadah dan ketetapan ajaran Islam lainnya juga penting sehingga tidak boleh diabaikan dan dijauhi. Pendekatan seperti ini akan memperluas, memperdalam, dan mempertajam serta dapat lebih mencerahkan pemahaman dan mengantar pada pengamalan agama secara sejuk. Demikian pula, pendekatan historis atau sejarah juga baik dalam rangka mengkomunikasikan masa lalu dengan masa kini untuk menjadi pelajaran masa akan datang. Semua pendekatan ini tidak dipertentangkan tapi justru akan saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Mengedepankan makna filosofis dan hikmah tapi melabrak dan menanggalkan syariatnya juga tidak benar. Dalam kaedah agama disebut Maqashid asy-Syari`ah. Tujuannya diperhatikan dan syariatnya tetap berlaku. Mengganti qurban dengan nilai uang, dengan alasan bahwa makna filosofis dan hikmahnya adalah untuk membantu dan membangun solidaritas sosial terutama bagi mereka yang tidak mampu. Berqurban dengan uang, maka tujuan itu akan lebih tercapai. Pemahaman seperti ini dinilai keliru, mengedepankan hikmah, tapi melabrak dan menanggalkan syariatnya. Syariatnya adalah harus berupa penyembelihan hewan yang memenuhi syarat.

Dalam konteks hari Raya Idul Adha 1428 H ini kita diingatkan oleh dua peristiwa besar dan penting yang dicatat oleh sejarah dan diabadikan oleh al-Qur’an, yaitu peristiwa ibadah haji dan peristiwa drama kehidupan Nabi Ibrahim As yang ingin mengorbankan putera kesayangannya, namun ternyata diganti oleh Allah dengan seekor kibas. Inilah yang kemudian menjadi ketetapan syariat ibadah qurban.

Kalau boleh dikatakan bahwa prosesi ibadah haji dan qurban ini sangat banyak menggunakan bahasa simbolik sehingga layak dipahami dengan pendekatan filosofis dan hikmah, tidak semata-mata pendekatan hukum yang lebih mengedepankan sosok lahiriah. Munculnya kritikan tajam bahwa orang-orang Islam mengaku bertuhan hanya kepada Allah dan tidak boleh menyembah berhala, justru mereka datang berlomba-lomba ke Mekah tiap tahun hanya untuk menyembah batu dengan cara berkeliling. Kekeliruan ini muncul, karena ajaran Islam hanya dilihat pada sisi lahiriahnya saja, tanpa dilihat makna filosofi dan hikmah di balik ketentuan ajaran ibadah tersebut.

Bahasa Nabi SAW. yang dikenal melalui hadis-hadis juga banyak menggunakan bahasa simbol dan latar belakang tertentu, sehingga tidak serta merta harus dipahami secara tekstual seperti apa adanya. Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari bersumber dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW. bersabda: “Orang mukmin itu makan dengan menggunakan satu usus, sedang orang kafir makan dengan tujuh usus”. Kalau hadis ini dipahami secara lahiriah dan tekstualnya saja, maka muncul pertanyaan apakah susunan organ anatomi tubuh manusia, misalnya usus seseorang bisa berbeda dengan orang lain hanya karena perbedaan ideologi atau perbedaan agama? Jawabannya, tentu tidak, sebab hadis ini menggunakan bahasa simbolik. Maksudnya, hadis ini menunjukkan perbedaan sikap dan pandangan dalam menyikapi nikmat Allah, termasuk ketika makan. Orang beriman itu sebaiknya memandang makan itu bukan sebagai tujuan hidup, tidak boleh serakah.

Saat ini adalah bulan haji. Sekitar 2,5 juta umat Islam tengah melaksanakan ibadah haji di Mekah al-Mukarramah. Lalu apa makna dari prosesi ibadah haji itu. Tulisan ini akan mengemukakan pemahaman makna simbolik dari prosesi ibadah haji yang kemudian diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sekarang.

Dalam melaksanakan ibadah haji, pertama-tama yang dilakukan adalah memakai pakaian ihram. Pakaian merupakan lambang sifat dan kepribadian. Artinya sifat-sifat dan karakter yang tidak baik yang selama ini melekat dalam diri kepribadian ditanggalkan dan dibuang, lalu memakai pakaian ihram, pakaian yang sama berupa dua lembar kain yang berwarna putih seperti kain kafan yang membalut tubuh kita ketika meninggal dunia. Ini mengandung arti bahwa mereka yang memakai pakaian ihram ini seharusnya mampu merasakan dan menyadari akan kelemahan dan keterbatasannya serta pertanggungjawaban yang akan dimintai di hadapan Allah yang Maha Kuasa, yang di sisi-Nya tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara pejabat dan rakyat biasa, antara pimpinan dan bawahan, antara orang bangsawan dan yang bukan. Semuanya sama di hadapan Allah Swt. Yang membedakan hanya kadar pengabdian dan kedekatannya kepada Allah Swt. Allah SWT. berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”. (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Kedua, Ka’bah melambangkan tentang keesaan Allah. Semua orang yang berasal dari berbagai latar belakang bangsa dan negara beribadah menuju pada tempat yang sama dan satu dengan niat yang sama. Di sisi Ka’bah ada Hijr Ismail. Hijr Ismail, artinya tempat pangkuan Ismail. Di sinilah tempat Ismail dipangku oleh ibunya yang bernama Hajar. Hajar adalah seorang wanita yang berkulit hitam, miskin, bahkan ia seorang budak. Namun demikian, Hajar seorang budak ini ditempatkan oleh Allah Swt. di tempat yang mulia, yaitu di sisi Ka’bah dan peninggalannya diabadikan oleh Allah. Ini artinya agar menjadi pelajaran buat kita bahwa Allah Swt. memberi kedudukan dan kehormatan untuk seseorang bukan karena keturunan, pangkat, jabatan, kekayaan atau status sosial lainnya, akan tetapi Allah menilai dan mengangkatnya berdasarkan besarnya pengabdian dan kedekatannya kepada Allah Swt.

Ketiga, Thawaf artinya mengelilingi Ka’bah. Ini melambangkan bahwa segala aktivitas dan kegiatan hidup kita harus berpusat kepada Allah dan dalam melaksanakan pekerjaan apa pun bentuknya harus dimulai dengan menyebut dan mengingat Allah. Berkeliling-keliling Ka’bah melambangkan bahwa pelakunya harus berbaur, lebur, dan larut bersama orang-orang lain serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama, yakni tetap dalam lingkungan Allah Swt.

Keempat, Sa’i artinya lari-lari kecil dan bolak balik antara Shafa dan Marwa. Ini mengandung arti bahwa dalam hidup ini kita harus bergerak, aktif berusaha dan kerja keras, tidak boleh pasif dan duduk bermalas-malasan. Shafa artinya bersih dan suci. Dan Marwa artinya puas dan murah hati. Ini mengandung arti bahwa dalam berusaha dan kerja keras harus diawali dengan niat yang bersih dan dengan cara yang bersih juga, sehingga hasilnya akan memuaskan

Kelima, wukuf di ‘Arafah. ‘Arafa artinya mengenal. Maksudnya, bahwa seluruh jemaah haji yang wukuf di padang ‘Arafah ini diharapkan mampu mengenal siapa dirinya, mengenal dan menyadari dosa-dosanya selama ini, mengenal dan mengetahui bagaimana cara ia akan kembali menuju kepada Allah, mengenal akan akhir perjalanan hidupnya serta pertanggungjawabannya nanti di akhirat kelak.

Setidaknya ada lima prinsip dasar hidup yang dapat diambil dari makna filosofis atau hikmah dari prosesi ibadah haji sebagaimana yang disebutkan tadi, yaitu: pertama, prinsip tauhid. Artinya, seluruh aktifitas dalam hidup dan kehidupan kita ini harus berlandaskan pada tauhid, bahwa hanya dengan kehendak dan kekuasaan Allah yang Maha Esa, segala sesuatu dapat terjadi, termasuk yang ada pada diri kita manusia dan pada akhirnya kita akan kembali kepada-Nya. Kedua, prinsip persamaan. Dengan berpegang pada prinsip persamaan ini akan melahirkan kesadaran sikap saling menghargai antara satu sama lain dengan mengedepankan akhlakul karimah serta menjauhkan diri dari segala sifat egois dan anarkis yang bisa memicu dan memunculkan konflik dan rasa permusuhan yang pada gilirannya akan merusak ukhuwwah, persaudaraan dan kebersamaan. Ketiga, prinsip kerja keras. Salah satu pintu menuju hidup sukses dan berhasil adalah kerja keras dengan cara yang baik dan benar. Dalam al-Qur’an Allah bersumpah dengan waktu; Demi waktu ashar (wal `ashri), demi waktu siang (wa an-nahari), demi waktu malam (wa al-laili), demi waktu dhuha (wa adh-dhuha), demi waktu fajar (wa al-fajri). Mengapa Allah bersumpah dengan waktu? Salah satu jawabannya, agar manusia benar-benar memperhatikan dan memanfaatkan waktu dengan kerja keras dengan cara yang baik dan benar. Innal insana lafi khusrinٍ (Mereka yang lalai dan tidak memanfaatkan waktu untuk bekerja keras akan termasuk orang-orang yang merugi). Keempat, prinsip ikhlas. Segala apa yang kita lakukan harusnya digerakkan oleh kekuatan tauhid dan proses pelaksanaannya sesuai aturan syariat serta tujuannya akan terpusat hanya karena Allah semata. Kelima, prinsip tanggung jawab. Kita manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, baik secara individu, keluarga, maupun tanggung jawab sosial. Bahwa semua yang pernah dilakukan sekecil apa pun akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat kelak.

Dengan memahami makna simbol yang terkandung dalam prosesi kegiatan ibadah haji ini lalu kemudian diimplementasikan dalam kehidupan realitas sosial kemanusiaan itulah pertanda keberhasilan ibadah haji dan inilah yang dinamakan haji yang mabrur. Kita umat Islam, baik yang sudah haji atau pun yang akan menyusul haji dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari seluruh kegiatan prosesi ibadah haji, mulai dari ihram, tawaf, sa’i, dan wukuf. Terutama dalam konteks kehidupan kita saat ini dimana kita hidup berdampingan dan berinteraksi dengan berbagai macam agama dan keyakinan yang berbeda-beda, etnis dan suku yang beragam, adat istiadat dan kebiasaan serta berbagai macam latar belakang perlu saling menghargai. Tidak menjadikan perbedaan itu sebagai lawan dan musuh, tapi justru dijadikan kekuatan untuk melawan ketertinggalan dan keterbelakangan sebagai musuh bersama.



[1] Sudah dimuat di Borneo Tribune, 24 Desember 2007

[2] Dosen STAIN Pontianak

Artikel

KRITIK HADIS: Menuju Pendekatan Kontekstual [1]

Oleh: Wajidi Sayadi

Pendahuluan

Beberapa tahun yang lalu, kami pernah ikut serta dalam sebuah diskursus tentang hadis. Dalam diskursus itu, kami memaparkan bahwa koleksi hadis-hadis yang ada dan sampai ke tangan kita sekarang ini umumnya adalah diinformasikan oleh para periwayat yang umumnya hidup di tengah pergolakan politik yang sangat panas, yaitu di bawah dominasi kekuasaan Muawiyah. Sehingga dengan demikian, para periwayat tersebut diklaim sebagai periwayat yang menyampaikan hadis-hadis dibawah intervensi dan tekanan pemerintahan Muawiyah. Bahkan mereka dicap bersekongkol dengan pemerintahan Muawiyah. Dengan intervensi dan persekongkolan mereka inilah sehingga dari ribuan bahkan ratusan ribu periwayat hadis yang tercatat, hanya sekitar 20 orang lebih yang dikenal sebagai orang-orang pendukung dan pengikut Ali ibn Abu Thalib. Para pendukung Ali ibn Abu Thalib pada saat itu diposisikan sebagai lawan politik Muawiyah sehingga mereka selalu dicurigai dan diinterogasi, kondisi demikian membuat periwayatan mereka banyak ditolak walaupun sebetulnya mereka dikenal sebagai ulama yang banyak mengetahui hadis-hadis Nabi Saw. Demikian ungkapan kami dalam forum kajian hadis itu yang dikutip dan disimpulkan dari sebuah buku “Kajian Sejarah dan Hadis” yang ditulis oleh Murtadha Al-`Askari. Mendengar informasi ini, nara sumber itu mengatakan: “Sebelum saya menjawab tanggapan saudara, terlebih dahulu saya ingin bertanya: “Saudara ini, apa Sunni atau Syi`ah ?” Dengan spontan kami menjawab: “Saya adalah muslim, adapun Sunni dan Syi`ah merupakan istilah yang lahir akibat dari sebuah proses sejarah saja”.

Nara sumber tersebut berpendapat bahwa hadis dan para periwayatnya itu sudah diseleksi dengan sangat ketat oleh ulama yang kredibilitasnya sangat tidak diragukan, apalagi kalau diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Kami tidak menafikan pendapat tersebut, bahkan diakui bahwa pandangan seperti inilah yang banyak dipegang oleh ulama hingga sekarang ini. Hanya saja ini bukan berarti bahwa pintu dan peluang kritik hadis adalah ditutup sama sekali. Terlepas dari apa yang dikemukakan Murtadha Al-`Askari di atas, menurut hemat kami, bahwa proses periwayatan hadis banyak dilakukan secara makna, dan dalam proses perjalanannya telah terjadi banyak pemalsuan, dan penghimpunannya pun ditulis ke dalam banyak kitab telah memakan waktu yang cukup lama dan menggunakan metode penyusunan yang beragam. Kondisi demikian, mendorong adanya penelitian dan kritik hadis tetap terbuka dan diperlukan.

Ketika diskursus tentang kritik hadis ini dimunculkan ke permukaan, maka teringat kembali pada sederetan nama tokoh dan ilmuan seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Juynboll, Fatima Mernissi, Ahmad Amin, Mahmud Abu Rayyah, Muhammad al-Ghazali, dan Djalaluddin Rakhmat (lebih akrab dipanggil Kang Djalal) dengan pendekatan historisnya. Mereka ini dalam kajiannya tentang hadis banyak melontarkan kritik terhadap hadis, yang melahirkan sikap pro dan kontra di kalangan peminat studi hadis, ulama, dan umat Islam pada umumnya.

Makna Kritik Hadis

Terminologi kritik dalam konteks ke-Indonesiaan khususnya dalam wacana sosial, politik, dan budaya, belum tentu identik dengan term kritik dalam wacana ilmu hadis. Dalam konteks ke-Indonesiaan terminologi kritik biasa diasumsikan dan diidentikkan dengan tanggapan atau kecaman yang melahirkan image negatif, yakni kecaman terhadap sesuatu karena adanya penyelewengan atau penyimpangan, misalnya pimpinan suatu lembaga atau instansi dikritik karena dinilai telah menyelewengkan dan menyalahgunakan keuangan dan fasilitas lembaga untuk kepentingan pribadi, pemerintah dikritik karena peraturan dan langkah kebijakan yang ditempuh tidak akomodatif dan tidak aspiratif, tidak mencerminkan keadilan dan pembelaan kerakyatan, tapi justru semakin membuat rakyat melarat. Terminologi kritik dalam konteks seperti ini, tentu tidaklah identik dengan terminologi kritik dalam wacana ilmu hadis.

Kritik hadis sama sekali tidak bermaksud membangun dan mengembangkan tasykik, sikap skeptis terhadap hadis. Dalam wacana ilmu hadis yang dikritisi adalah sampai sejauhmana kebenaran berita itu berasal dari Nabi Saw. dan bagaimana kualitas pribadi dan kapasitas intelektual penerima dan penyampai berita itu apakah mereka tergolong dalam kategori tsiqah (adil dan dhabit) atau justru cacat. Terminologi kritik dalam wacana ilmu hadis dimaksudkan adalah suatu ilmu yang membahas dan berusaha menetapkan adanya ke-tsiqah-an dan kecacatan pada diri pribadi periwayat sehingga dengan demikian dapat dipisahkan antara hadis sahih dan dhaif.[2] Kritik hadis terdiri atas dua macam; yaitu kritik sanad atau kritik ekstrinsik (al-naqd al-kharij), dan kritik matan atau kritik intrinsik (al-naqd al-dakhil).[3] Dalam kritik sanad, yang menjadi obyek kritikan adalah pribadi para periwayat yang terlibat langsung dalam periwayatan hadis yang bersangkutan. Adapun segi-segi pribadi periwayat yang dikritik adalah kualitas, dalam hal ini ke-adil-annya, dan kapasitas intelektualnya, yakni ke-dhabit-annya. Mengeritik para periwayat yang terdapat dalam rangkaian sanad kita berpedoman pada standar informasi dan keterangan yang telah disampaikan oleh para ulama kritikus hadis. Merekalah yang dapat dipertimbangkan kritikannya untuk menetapkan kualitas periwayat hadis. Biografi para periwayat disertai kritikan dan penilaian oleh kritikus hadis terhadap mereka dapat diketahui melalui buku-buku rijal al-hadis, seperti al-Jarh wa al-Ta`dil karya Ibnu Abi Hatim al-Raziy (328 H), Tahdzib al-Tahdzib karya Al-`Asqalaniy (852 H/1449 M), Mizan al-I`tidal Fi Naqd al-Rijal karya Al-Dzahabiy (748 H/1348 M), Tahdzib al-Kamal karya al-Mizziy (742 H/1342 M), dan kitab-kitab raijal lainnya.

Di antara kriteria kesahihan suatu hadis khususnya pada matan ialah bebas dari adanya syadz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (kecacatan). Matan suatu hadis dipandang syadz dan illat, jika bertentangan dengan landasan dan acuan yang digunakan dalam kritik matan. Menurut al-Idlibiy ada 4 patokan dasar sebagai acuan dalam upaya menkritisi matan hadis, yaitu: 1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an, 2) Tidak bertentangan dengan hadis dan sejarah kehidupan Nabi Saw., 3) Tidak bertentangan dengan akal sehat dan sejarah, dan 4) Susunan redaksinya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.[4] Al-Khatib al-Baghdadiy dalam bukunya Al-Kifayah fi `Ilm al-Riwayah menetapkan 6 acuan dasar, namun keempat poin di atas yang dikemukakan Al-Idlibiy sudah dapat dipandang cukup dan memadai sebagai standar kritikan. Suatu hal yang cukup menarik dalam kritik matan ialah menjadikan fakta sejarah sebagai dasar dan acuan dalam mengeritik hadis. Cara seperti ini biasa dilakukan oleh kalangan orientalis seperti Goldziher, dan juga biasa dilakukan Jalaluddin Rakhmat dalam mengeritik hadis. Namun perlu juga dicatat bahwa sejarah itu perlu juga dikritik, bahkan justru ilmu kritik hadis yang digunakan dalam mengeritik sejarah itu seperti yang dilakukan oleh Prof. Dr. Akram Dhiyauddin Umari, dalam bukunya Madina Society at the Time of Prophet: Its Characteristics and Organization” yang diterjemahkan oleh Mun`im A. Sirry dengan judul: Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi.

Kritik Hadis: Kemunculan dan Perkembangannya

Semua ulama kritikus hadis telah sepakat bahwa kritik hadis itu sebetulnya sudah ada dan dimulai sejak masa Nabi Saw. dan para sahabat. Hanya saja model dan langkah operasionalnya masih sangat sederhana, yaitu hanya berupa proses konfirmasi dengan tujuan agar umat Islam merasa tenang dan tentram atas kebenaran informasi itu dari Nabi Saw. Umar ibn Khattab setelah mendengar berita bahwa Nabi Saw. telah menceraikan isteri-isterinya, ia datang kepada Nabi Saw. untuk konfirmasi dan mengecek apa benar Nabi Saw. menceraikan isteri-isterinya. Ternyata kemudian Nabi Saw. menjawab bahwa itu tidak benar. Aisyah umm al-mu’minin juga pernah mengeritik hadis yang diriwayatkan oleh Umar ibn Khattab, yaitu انّ الميت يُعذّب ببكاءاهله عليه (Sesungguhnya mayat itu disiksa karena tangisan keluarganya kepadanya). Aisyah mengeritik hadis tersebut, karena menurutnya, bahwa hadis tersebut bertentangan dengan ayat.ولاتزر وازرة وِزر اخرى (Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain QS. Al-Isra’:15; Al-An`am:164).

Demikian pula dalam perkembangannya kemudian, dengan tersedianya kitab-kitab pedoman yang digunakan dalam kritik sanad seperti dikemukakan di atas membuat agak lebih mudah kritik sanad dari pada kritik matan. Oleh karena itulah, karya-karya tentang kajian penelitian hadis yang bermunculan baik dari kalangan dunia akademik berupa tesis dan disertasi maupun non-akademik lebih banyak dan dominan pada kritik sanad. Namun perkembangan mutakhir kemudian menunjukkan bahwa studi kritik matan hadis sudah banyak dirambah dan digarap dan ini sudah berkembang. Hal ini dapat dilihat dengan terbitnya sejumlah buku yang muatannya tentang kritik hadis, misalnya Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah oleh Al-Daminiy, Manhaj Naqd al-Matn oleh Shalahuddin al-Idlibiy, Manhaj al-Naqd `Ind al-Muhadditsin oleh Muhammad Mushthafa A`zhami, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqd Matn al-Hadits al-Nabawiy oleh Muhammad Thahir al-Jawabiy, dan Al-Sunnah Bayn Ahl al-Ra’y wa Ahl al-Hadits oleh Muhammad Al-Ghazaliy, dan lain-lain.

Menuju Pendekatan Kontekstual

Semua ulama dan pakar dari latar belakang dan golongan apa pun telah konsensus bahwa hadis atau sunnah merupakan sumber hukum dan ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Namun suatu hal yang juga tak dapat dinafikan bahwa Nabi Saw. adalah manusia biasa dan bukan malaikat. Risalah yang dibawanya tidaklah menghapus sifat kemanusiaannya, sehingga tidak tertutup kemungkinan sebagian sabda atau perbuatan beliau hanya semata-mata didorong oleh kapasitas pribadi dan karakter kemanusiaannya sehingga beliau bisa saja marah, senang, gembira, dan sifat-sifat lainnya. Ada hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari Ummu Sulaim (ibunya Anas ibn Malik), Rasulullah Saw. bersabda:

إنما أنا بشر أرضى كما يرضى البشر وأغضب كما يغضب البشر

“Bahwa aku adalah manusia biasa, dapat merasa senag seperti manusia biasa lainnya, dan dapat pula marah seperti manusia biasa juga”. (HR. Muslim dari Ummu Sulaim).

Muslim dan Ahmad meriwayatkan yang bersumber dari Ibnu Abbas, Nabi Saw. bersabda tewntang Mu`awiyah: “ لاأشبع الله بطنه (Semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya, maksudnya perut Mu`awiyah). Lebih jauh Ibnu Abbas menerangkan bahwa, aku sedang bermain dengan anak-anak, lalu Rasulullah Saw. datang, maka aku bersembunyi di balik pintu. Kemudian beliau menepuk pundakku dengan keras dan bersabda, إذهب وادع لى معاوية (panggillah kemari Mu`awiyah)! Lalu aku mendatangi Mu`awiyah, sesudah itu aku kembali kepada Rasulullah Saw. menyampaikan bahwa Mu`awiyah masih sedang makan. Beliau kembali bersabda, إذهب وادع لى معاوية (panggillah kemari Mu`awiyah !). Aku segera mendatangi Mu`awiyah dan kemudian aku kembali kepada Rasulullah Saw. melapor bahwa Mu`awiyah masih sedang makan. (Mendengar laporan itu) beliau bersabda لاأشبع الله بطنه (semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya). Dalam hadis Shahih Bukhari diriwayatkan yang bersumber dari Jabir ibn Abdullah, bahwa ayah kandung Jabir yaitu Abdullah ibn `Amru ibn Haram meninggal dunia, dan ia mempunyai hutang. Kemudian Jabir berbicara kepada Rasulullah Saw. agar meminta kepada orang-orang yang menghutangi ayahnya agar membebaskannya dari hutang-hutangnya itu. Rasulullah Saw. kemudian meminta kepada mereka untuk menuruti keinginan Jabir tersebut, namun ternyata mereka menolak ajakan Rasul untuk membebaskan hutang-hutang ayah Jabir itu.

Mengenai hadis dan ucapan Nabi Saw. seperti ini diinterpretasikan oleh banyak ulama dengan bervariasi. Di antaranya oleh Syekh Nashiruddin al-Albani, bahwa hal itu mungkin terjadi karena didorong oleh sifat kemanusiaan beliau.[5] Oleh karena itu, memahami suatu teks hadis memerlukan kecermatan dan ketelitian serta memperhatikan dan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang terjadi pada diri dan lingkungan yang melingkupi kehidupan Nabi Saw. Boleh jadi hadis yang dilihat hanya sebatas tekstual justru memperkecil wilayah arti dan makna hadis itu sendiri sehingga melahirkan kesimpulan yang keliru dengan mengatakan bahwa hadis itu tidak aktual dan tidak relevan dengan kondisi perkembangan kemajuan. Berpatokan kepada hadis secara tekstual semata boleh jadi akan melahirkan sikap pemaksaan realitas sosial tunduk kepada teks, yang walaupun sesungguhnya hal itu dapat dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hidup yang dikedepannkan oleh al-Qur’an sendiri. Maka solusi alternatif yang patut dikembangkan adalah dengan pendekatan kontekstual di mana aspek kesejarahan yang melingkupi dan melatarbelakangi serta menjadi tujuan disabdakannya hadis itu harus menjadi perhatian. Nabi Saw. diutus oleh Allah dan hidup di tengah masyarakat yang sudah mempunyai budaya dan peradaban. Artinya, bahwa ketika Nabi Saw. bersabda atau melakukan suatu tindakan bisa saja tidak terlepas dari situasi dan kondisi yang melingkupi masyarakat pada waktu itu, termasuk suasana politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Sehingga dengan demikian ada saja perbuatan atau sabda Nabi Saw. muncul secara spontanitas dan dorongan pribadi dan sebagai respon atas situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu seperti hadis yang diriwayatkan dari Ummu Sulaim dan Jabir ibn Abdullah di atas. Oleh karena itulah, maka memahami hadis Nabi Saw. tidaklah cukup hanya melihat semata pada tekstualnya saja, tapi seharusnya diperhatikan kontekstualnya. mempertimbangkan konteks situasi dan kondisi dimana Nabi Saw. bersabda dan bertindak, adalah sesuatu yang dipandang sangat relevan untuk melihat dan bijaksana.

Contoh hadis.

Pemimpin dari Quraisy.

الأئمّة من قريش انّ لهم عليكم حقا ولكم عليهم حقا مثل ذلك. ماان استرحموا فرحموا وان عاهدوا وفوا وان حكموا عدلوا فمن لم يفعل ذلك منهم فعليه لعنة الله والملائكة والناس اجمعين. (رواه احمد عن انس بن مالك وابن برزة)

“Pemimpin itu dari etnis Quraisy. Sesungguhnya mereka mempunyai hak atas kamu sekalian dan kamu sekalian mempunyai hak atas mereka. Pada beberapa hal mereka dituntut untuk bersikap sayang, maka mereka bersikap sayang. Dan kalau mereka menjadi hakim maka mereka berlaku adil. Kalau mereka berjanji, mereka tepati. Kalau ada dari kalangan mereka yang tidak beralku demikian, maka orang itu akan memperoleh kekuatan dari Allah, para Malaikat, dan semua manusia.” (HR. Ahmad dan Malik dari Anas ibn Malik dan Ibn Barzah).[6]

Hadis riwayat Ahmad ibn Hambal yang jalur sanadnya melalui dari Ibn Barzah adalah Sahih. Sedangkan yang melalui jalur dari Anas ibn Malik adalah dhaif, karena pada jalur itu sanadnya terdapat periwayat yang bernama Bukair ibn Wahab al-Juzri yang dinilai oleh ulama kritikus hadis seperti al-Dzahabi sebagai dhaif dan tidak dikenal sebagai periwayat hadits.[7]

Selintas melihat hadis tersebut secara tekstual sangat kental mengesankan adanya primordial, dimana hak kepemimpinan ditentukan oleh standar etnisitas dan keturunan, dan bukan pada kualitas dan kemampuan serta prestasi kerja. Pemahaman seperti ini dapat dipandang tidak mencerminkan prinsip dan ajaran Islam yang sangat menekankan pada kualitas dan kemampuan.

Lalu bagaimana di wilayah atau negara yang tidak ada penduduknya yang berasal dari keturunan etnis Quraisy, seperti Indonesia ? Bukankah doktrin Islam telah meletakkan dasar asas persamaan di antara sesama umat manusia, sekaligus menolak diskriminasi dan pengistimewaan dengan argumen kekerabatan, kedaerahan, etnis, kaum, kelas, dan lain-lain. Islam menghargai hal pengistimewaan atas dasar kualitas dan hasil prestasi kerja.

Di sinilah perlunya pendekatan kontekstual dengan mempertimbangkan aspek sosio-historis yang melingkupinya dan tujuan disabdakannya hadis itu.

Dalam realitas kehidupan sosial politik, dan budaya bangsa Arab baik masa Pra Islam maupun Pasca-Islam, etnis Quraisy menempati pada posisi dan strata yang tinggi dan terhormat, dilihat dari aspek eksistensi religiusitasnya yang berkaitan dengan Hanafiyyah, agama Nabi Ibrahim as. Etnis Quraisylah yang melaksanakan pengabdian atau pelayanan servis terhadap Ka’bah. Demikian juga aset dan posisi ekonomi perdagangan dipegang dan dimainkan oleh etnis Quraisy. Yang pertama kali menyambut dan masuk Islam serta menjadi pahlawan-pahlawan dalam mendakwahkan syiar Islam adalah orang-orang dari etnis Quraisy.[8] (Al-Mubarak, 1995:80). Djalaluddin Rakhmat mengutip pandangan Nicholson, Goldziher, dan Jafri tentang teori sosio-antropologis bangsa Arab yang berpijak pada dua asumsi: (1) Bangsa Arab adalah bangsa yang terorganisasi atas dasar kesukuan (etnisitas); kesetiaan pada suku dan ketergantungan kehormatan pada sukunya menjadi sangat penting; (2) Bangsa Arab yang membentuk umat Islam permulaan terdiri dari dua subkultur–subkultur Arab Selatan dan subkultur Arab Tengah Utara.[9] Suku Arab Selatan adalah suku Arab yang memiliki sensitivitas religius yang tinggi, artinya mereka lebih menunjukkan pada perasaan syukur dan penyerahan diri pada Tuhan. Berbeda dengan suku-suku di Arab Utara lebih memuja keberanian dan kepahlawanan. Pada suku-suku Arab Utara, pemimpin umumnya dipilih berdasarkan usia atau senioritas. Sedangkan suku-suku Arab Selatan pemimpin dipilih berdasarkan kesucian keturunan. Bagi bangsa Arab, khususnya Arab Selatan, pengurusan rumah suci dan kehormatan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, sejak zaman jahiliyah orang Arab tidak mengenal pemisahan antara kepemimpinan temporal dan kepemimpinan sakral. Ka’bah adalah rumah suci yang dihormati semua kabilah Arab. Kabilah yang mendapat tugas secara turun temurun memelihara Ka’bah dan tugas kepemimpinan Arab dipegang oleh keturunan dari suku Quraisy.

Dengan demikian, orang-orang yang berasal dari etnis Quraisy diangkat menjadi pemimpin sebagaimana dalam hadis di atas, adalah sangat beralasan, karena prestasi mereka yang didukung oleh adanya kewibawaan, kemampuan, dan pengalaman serta hasil prestasi kerja mereka. Artinya, Orang-orang Quraisylah saat itu yang merupakan etnis Arab yang paling kuat, tangguh dan terkemuka yang mempunyai solidaritas kelompok yang kokoh dan membuatnya paling berwibawa untuk memelihara keutuhan dan persatuan umat Islam. Jadi, persoalannya di sini bukan pada etnis Quraisynya itu, akan tetapi, lebih pada persoalan kemampuannya. Oleh karena itu, kapan dan dimanapun, mereka yang mempunyai kewibawaan, dan kemampuan, maka itulah yang pantas dan layak dipilih menduduki jabatan kepala atau pemimpin walaupun bukan berasal dari keturunan etnis Quraisy. Pandangan seperti ini didukung oleh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Anas ibn Malik yang intinya bahwa hak kepemimpinan itu tidak hanya bagi orang-orang Quraisy, tapi orang-orang hamba sahaya pun boleh menjadi pemimpin selama mereka mampu, bahkan Nabi Saw. sendiri justru memerintahkan supaya taat dan mendengarkan apa yang diperintahkan oleh pemimpin yang berasal dari hamba sahaya dari Habsyi. Hadis yang dimaksud ialah:

إسمعوا وأطيعواوان استُعْمِلَ عليكم عبْدٌ حَبَشِيٌّ كأنّه رأسَه زبيبة.

Dengarlah dan taatilah kamu sekalian walaupunpejabat yang saya angkat untuk mengurus kepentngan kamu sekalian adalah hamba sahaya dari Habsyi yang (rambut) di kepalanya menyerupai gandum”. (HR.Bukhari , Muslim, dan lain-lain yang bersumber dari Anas ibn Malik).

Hadis kedua. Perempuan tak boleh menjadi pemimpin.

لن يُفلح قوم ولّوا أمْرهم امرأةً (رواه البخارىوالترمذىوالنسائ عن أبى بكرة)

Tidak akan suskses suatu kaum (masyarakat, bangsa) yang menyerahkan (untuk memimpin urusan mereka kepada perempuan”. (HR.Bukhari, Turmidzi, dan Al-Nasai dari Abi Bakrah).

Hadis ini sangat populer dan menjadi bahan perdebatan publik terutama ketika Megawati Soekarnaputeri dicalonkan menjadi presiden RI, karena muatan hadis ini memang persoalan politik Bahkan terkesan hadis ini dijadikan senjata ampuh oleh kelompok yang tidak senang terhadap perempuan diangkat menjadi presiden, termasuk yang tidak senang pada Megawati sendiri. Apakah dengan cara seperti ini berarti menggunakan hadis sebagai dalil agama untuk menjustifikasi kepentingan politik tertentu, atau tidak. Terlepas dari hal ini, yang jelas bahwa hadis tersebut jika dilihat dan dipahami secara tekstual, maka perempuan memang tidak layak untuk diangkat menjadi presiden. Pemahaman seperti ini banyak dilakukan oleh ulama, bahkan mungkin masih jumhur (mayoritas) ulama berpendapat demikian. Menurut hemat kami, bahwa dengan pemahaman cara seperti ini akan memunculkan kesan yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak menghargai peran dan eskistensi hak politik bagi mereka untuk memimpin. Kondisi dan kemampuan yang dimiliki perempuan terutama di era modern, tentu sudah tidak sama lagi dengan zaman dahulu. Sekarang mereka mengalami kemajuan sebagaimana halnya laki-laki berkat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kemajuan dalam bidang politik. Perubahan situasi dan kondisi serta realitas sosial dimana mereka hidup dan beraktifitas, dikaitkan dengan hadis di atas, maka pendekatan kontekstual merupakan tawaran yang relevan. Pendekatan kontekstual ini adalah dengan memperhatikan pada latar belakang sosio-historis lahirnya hadis tersebut dan realitas sosial masyarakat pada saat itu sehingga gambaran mengenai tujuan disabdakannya hadis itu dapat tertangkap.

Hadis tersebut disabdakan Nabi Saw. ketika mendengar laporan dari sahabat yang menceritakan tentang pengangkatan seorang perempuan menjadi ratu di Persia, yang bernama Buwaran ibnti Syairawaih ibn Kisra ibn Barwaiz. Pada saat itu sudah mentradisi bahwa pemimpin atau kepala negara itu adalah seorang laki-laki. Buwaran diangkat menjadi ratu (kisra) di Persia menggantikan ayahnya, setelah terjadi pergolakan berdarah dalam rangka suksesi memperebutkan kekuasaan, dimana saudara laki-lakinya turut tewas dalam pergolakan itu. Pengangkatan seorang perempuan menjadi pemimpin ini menyalahi tradisi yang sudah berlaku pada saat itu.[10]

Sejarah telah mencatat bahwa perempuan di mata masyarakat pada saat itu adalah makhluk yang kurang dihargai bahkan boleh dikatakan tidak berharga sama sekali. Dengan dasar kepercayaan seperti ini, maka hanya laki-lakilah yang dipandang mampu mengurus kepentingan masyarakat luas dan masalah negara. Sementara perempuan tetap tidak dipercaya sama sekali untuk ikut mengurus kepentingan masyarakat dan lebih-labih lagi masalah negara. Dalam situasi dan kondisi seperti inilah, Nabi Saw. menyatakan bahwa menyerahkan urusan kemasyarakatan atau kenegaraan kepada perempuan tidak akan sukses, sebab bagaimana mungkin bisa sukses, kalau orang yang memimpin itu adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang ideal bagi seorang pemimpin adalah ia mempunyai kharisma atau kewibawaan, sementara perempuan pada saat itu sama sekali tidak mempunyai kharisma atau kewibawaan untuk menjadi pemimpin masyarakat.[11] Oleh karena itu, dengan perubahan situasi dan kondisi, dimana masyarakat sudah menghargai, menerima, dan memposisikan perempuan itu sebagaimana halnya dengan laki-laki, dan perempuan itu sendiri juga sudah mempunyai kewibawaan dan kemampuan memimpin, maka mengangkat mereka untuk menjadi pemimpin adalah boleh-boleh saja. Jadi, hadis di atas persoalan intiinya bukan pada persoalan keperempuanannya, akan tetapi lebih pada persoalan kemampuan memimpin. Oleh karena itu, laki-laki pun juga tidak akan sukses dalam memimpin suatu masyarakat atau negara, kalau tidak mempunyai wibawa dan kemampuan kepemimpinan yang memadai. Wa Allahu A`lam bi al-Shawwab

Daftar Pustaka

A`zhami, Muhammad Mushthafa, Manhaj al-Naqd `Ind al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa Tarikhuhu, (Riyadh: Syirkah al-Thiba`ah al-`Arabiyah al-Su`udiyah al-Mahdudah, 1402 H/1982 M), Cet. II, h. 5.

Al-Dzahabi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad, Mizan al-I`tidal Fi Naqd al-Rijal, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1382 H/1963), Juz I hal. 351.

Al-Husainiy, Al-Bayan Wa al-Ta`rif Fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif (Kairo: Dar al-Turats, t.th.), h. 82-84.

Ibnu Hambal, Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hambal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III h. 129 dan 183; dan Juz IV h. 422.

Al-Idlibi, Shalahuddin ibn Ahmad, Manhaj Naqd al-Matn `Ind al-`Ulama’ al-Hadits al-Nabawiy, (Beirut: Mansyurat Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H/1983 M), Cet. I, h. 31.

Ismail, M.Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Ibntang, 1994), Cet.I, h. 66.

Al-Jawabi, Muhammad Thahir, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqd Matn al-Hadits (Tunis: Muassasat Abd al-Karim ibn Abdullah, t.th.), h. 94.

Al-Mubarak, Muhammad, Nizham al-Islam al-Hukm wa al-Daulah Diterjemahkan oleh Firman Harianto, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), hal. 80.

Rakhmat, Djalaluddin, “Skisma Dalam Islam Sebuah Telaah Ulang” dalam Budhy Munawar Rachman (Editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), Cet. I hal. 698.



[1] Sudah dimuat dalam Khatulistiwa Journal Islamic Studies STAIN Pontianak

[2] Muhammad Mushthafa A`zhamiy, Manhaj al-Naqd `Ind al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa Tarikhuhu, (Riyadh: Syirkah al-Thiba`ah al-`Arabiyah al-Su`udiyah al-Mahdudah, 1402 H/1982 M), Cet. II, h. 5. Definisi yang lebih komprehensif tentang kritik hadis dapat dilihat dalam Muhammad Thahir al-Jawabiy, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqd Matn al-Hadits (Tunis: Muassasat Abd al-Karim ibn Abdullah, t.th.), h. 94.

[3] Shalahuddin ibn Ahmad al-Idlibiy, Manhaj Naqd al-Matn `Ind al-`Ulama’ al-Hadits al-Nabawiy, (Beirut: Mansyurat Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H/1983 M), Cet. I, h. 31.

[4] Al-Idlibiy, op. cit., h. 238.

[5] Sabda dan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Saw. adakalanya dalam kapasitasnya sebagai Rasul, pribadi, manusia biasa sebagai orang Arab, pemimpin politik, hakim, panglima perang,. Konsekwensi dari pengklasifikasian seperti ini melahirkan adanya sunnah yang berdimensi syariat dan sunnah yang tidak berdimensi syariat, dan ini masih diperdebatkan di kalangan ulama. Al-Qardhawi membahas hal ini cukup panjang dalam bukunya Al-Sunnah Mashdaran Li al-Ma`rifah wa al-Hadharah Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattanie, Sunnah Rasul Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, hal. 33-141.

[6] Musnad al-Imam Ahmad ibn Hambal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III h. 129 dan 183; dan Juz IV h. 422.

[7] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Dzahabi, Mizan al-I`tidal Fi Naqd al-Rijal, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1382 H/1963), Juz I hal. 351.

[8] Muhammad Al-Mubarak, Nizham al-Islam al-Hukm wa al-Daulah Diterjemahkan oleh Firman Harianto, Sistem pemerintahan Dalam Perspektif Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), hal. 80.

[9] Djalaluddin Rakhmat, “Skisma Dalam Islam Sebuah Telaah Ulang” dalam Budhy Munawar Rachman (Editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), Cet. I hal. 698.

[10] Selengkapnya dapat dilihat dalam Al-Husainiy, Al-Bayan Wa al-Ta`rif Fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif (Kairo: Dar al-Turats, t.th.), h. 82-84.

[11] M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Ibntang, 1994), Cet.I, h. 66.

Artikel

ASBAB AN-NUZUL

Tafsir Responsif atas Realitas dan Problem Sosial Budaya Masyarakat [1]

Oleh: Dr. Wajidi Sayadi, M.Ag.

Pendahuluan

Dalam setiap dialog dan diskursus mengenai al-Qur’an dan tafsirnya, asbab an-nuzul selalu menjadi pembahasan menarik. Dalam buku-buku `ulum al-Qur’an memang tidak pernah absen dibicarakan masalah asbab an-nuzul. Hampir tidak ada kitab tafsir al-Qur’an yang tidak memuat riwayat asbab an-nuzul sebagai penguatan dan penjelasan mengenai tafsiran ayat, baik tafsir yang menggunakan metode maudhu`i terlebih lagi tafsir yang menggunakan metode tahlili (analisis) yang bercorak bi al-ma’tsur. Sampai saat ini mayoritas ulama[2] berpendapat bahwa asbab an-nuzul sangat berperan dan membantu dalam penafsiran dan pemahaman al-Qur’an. Bahkan asbâb an-nuzûl akan memperjelas bagaimana mengaplikasikan sebuah ayat al-Qur’an dalam situasi dan konteks yang berbeda–beda. Hal ini terjadi dari zaman klasik hingga kontemporer. Hanya saja terkadang asbâb an-nuzûl dipandang dan dijadikan hanya sebagai kumpulan riwayat yang menceritakan berbagai kasus yang berkaitan dan beriringan dengan turunnya ayat al-Qur’an. Padahal sesungguhnya asbab an-nuzul merupakan bukti konkrit respon dan jawaban al-Qur’an terhadap realitas dan problem sosial budaya masyarakat. Kata Prof. Quraish Shihab, asbab an-nuzul, paling tidak menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun.[3] Dalam bahasa Nashr Hamid Abu Zayd[4] menyebutnya sebagai الحوار بين النص والواقع asbab an-nuzul merupakan hubungan dialogis antara teks dan konteks sosial kultural. Disini bisa dipahami dan dicontoh bahwa al-Qur’an adalah subyek yang datang merespon dan menjawab serta mereformasi berbagai ketimpangan dan penyimpangan yang pernah di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Sekarang ini justru terkesan al-Qur’an lebih banyak dijadikan sebagai obyek kajian kritis yang terkadang kurang obyektif. Sementara dalam tataran aktual masih kurang memberikan makna signifikan yang dapat menawarkan solusi atas problem sosial kemanusiaan.

Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman tentang kondisi sosial yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Qur’an sangat penting dalam penafsiran dan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an. Hanya saja persoalanya adalah pembacaan dan pemaknaan asbab an-nuzul ini masih lebih sebagai kumpulan data sejarah masa lalu tanpa mengaitkan dengan realitas kontemporer dalam rangka menjawab tantangan zaman dan problem sosial kemanusiaan. Dalam konteks inilah penulis ingin mendialogkan pembacaan dan pemaknaan asbab an-nuzul sebagai respon dan jawaban terhadap realitas dan problem problem sosial kemanusiaan.

Terminologi Asbab an-Nuzul

Al-Qur’an dilihat dari sisi kaitannya dengan asbab an-nuzul ini terbagi atas dua macam; pertama, secara umum, semua ayat al-Qur’an ada asbab an-nuzul-nya. Maksudnya al-Qur’an turun dalam rangka pelurusan dan perbaikan kerusakan yang terjadi pada umat. Kedua, al-Qur’an turun secara khusus pada kasus-kasus tertentu yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an. Inilah yang kemudian populer disebut asbab an-nuzul. Pengertian kedua dan secara khusus inilah yang terekam dalam buku Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi (468 H/1075 M) dan Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul karya as-Suyuthi (911 H/1505 M).

Aasbâb an-nuzûl dalam terminologi popular inilah yang dimaksudkan sebagai suatu peristiwa yang terjadi atau berupa pertanyaan yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an yang mengandung penjelasan tentang peristiwa tersebut, sebagai jawaban atau penjelasan hukumnya, pada saat terjadinya peristiwa itu. Pengertian “sebab” dalam konteks asbâb an-nuzûl ialah adanya peristiwa itu menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an, mengiringi sebab itu langsung, atau turun terkemudian sedikit dari sebab tersebut.[5]

Ada beberapa unsur yang perlu dicermati dan tidak boleh diabaikan dalam menganalisis konteks asbâb an-nuzûl, yaitu adanya suatu peristiwa atau kasus, pelaku peristiwa, tempat peristiwa, dan waktu berlangsungnya peristiwa itu. Perpaduan secara integral antar semua unsur dan komponen dalam peristiwa tersebut menggambarkan dengan cukup jelas bahwa pada dasarnya ayat-ayat al-Qur’an itu mempunyai hubungan dialektis dengan fenomena sosio-kultural masyarakat. Peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu perlu diidentifikasi dengan cermat untuk dapat diterapkan ayat-ayat tersebut pada peristiwa lain dan di tempat dan waktu yang berbeda-beda.[6]

Asbab an-Nuzul; Antara Riwayat dan Dirayat

Dalam kajian asbab an-nuzul terdapat dua jalur yang seringkali dilalui; pertama jalur riwayat, dan kedua, jalur dirayah. Jalur riwayat maksudnya, asbab an-nuzul dikaji dengan analisis lebih pada persoalan asal usul dan sumber kebenaran informasinya, apakah sumber informasi asbab an-nuzul itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau tidak. Jalur ini biasanya lebih dominan dipakai oleh para muhaddis. Adapun jalur kedua, melalui jalur dirayat, maksudnya asbab an-nuzul dianalisis lebih pada sisi kandungan maknanya. Kajian asbab an-nuzul secara dirayat biasanya lebih banyak dipakai kalangan fuqaha atau ahli hukum dan pemikiran. Sebetulnya, kedua jalur ini bukan kontradiksi yang dipertentangkan, tapi justru saling melengkapi. Validitas kebenaran informasi asbab an-nuzul penting, tapi memahami dan mengerti makna kandungan asbab an-nuzul akan lebih penting lagi terutama dalam hubungannya sebagai respon dan jawaban terhadap realitas dan problem sosial kemasyarakatan kemanusiaan.

Asbab an-Nuzul Dalam Diskursus Teoritis

Ketika sampai pada tataran aplikasi asbab an-nuzul dalam merespon dan menjawab problem sosial kemanusiaan terdapat beberapa kaedah populer sebagai sebuah teori yang dirumuskan para ulama, di antaranya:

أَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

1) Ungkapan umumnya lafal yang menjadi pegangan bukan pada sebab khususnya.

أَلْعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لاَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ

2) Ungkapan sebab khususnya yang menjadi pegangan bukan pada umumnya lafal.

Mayoritas ulama terutama kalangan ulama ushul fikih berpandangan bahwa yang menjadi pegangan dalam konteks asbâb an-nuzûl dalam menerapkan dan mengaplikasikannya adalah pada lafal dan redaksinya yang bersifat umum dan bukan pada sebab khususnya, sebagaimana pada kaedah pertama di atas. Alasannya, di antaranya bahwa yang menjadi hujjah dan dalil hanyalah lafal Syâri` (Pembuat syariat) dan bukan sesuatu yang mengelilingi lafal itu berupa sebab tertentu atau adanya pertanyaan. Pada dasarnya, lafal-lafal itu dipahami sesuai maknanya selama tidak ada sesuatu yang memalingkanya dari makna asalnya. Dalam hubungan ini, tidak ada sesuatu yang memalingkannya dari maksud keumumannya, sehingga lafal itu tetap pada keumumannya. Mayoritas ulama memandang bahwa peristiwa-peristiwa tertentu yang diungkapkan dalam asbâb an-nuzûl itu hanyalah sebagai model dan contoh saja bagi kondisi sosial kemanusiaan. Muhammad Thahir ibn `Âsyûr lebih tegas lagi dukungannya bahwa ungkapan umumnya redaksi yang menjadi pegangan bukan pada sebab-sebab khususnya yang melatarinya. Ia mengatakan bahwa tujuan utama diturunkannya al-Qur'an adalah sebagai petunjuk dalam rangka menciptakan kemaslahatan manusia. Dalam proses penciptaan kemaslahatan itu tidak perlu menunggu adanya sebab-sebab yang melatarinya.[7] Hal ini sama dengan argumentasi Wahbah az-Zuhailî bahwa sesungguhnya yang menjadi hujjah adalah lafal Syâri` (Pembuat syariat) dan bukan karena adanya pertanyaan atau sebab-sebab lain yang melatarinya.[8]

Sementara ulama yang menggunakan kaedah kedua yang lebih mengedepankan pada kasus peristiwanya secara khusus bukan pada lafal dan redaksinya beralasan bahwa penangguhan penjelasan mengenai terjadinya suatu peristiwa dan munculnya pertanyaan karena adanya suatu sebab, menunjukkan bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab. Demikian pula para periwayat telah meriwayatkan asbâb an-nuzûl dan memberikan perhatian yang besar bahkan telah membukukannya. Semua usaha ini tentu tidak ada gunanya kecuali kalau mengikuti pola pemikiran bahwa lafal umum terbatas pada person-person sebabnmya yang khusus.[9]

Prof. Quraish Shihab terkesan lebih mendukung kaedah kedua tersebut di atas yang dianut minoritas ulama.[10] Menurutnya, tafsir al-Qur’an dapat lebih dikembangkan, kalau aplikasi asbab an-nuzul menggunakan kaedah tersebut dengan catatan, bahwa dalam asbab an-nuzul harus memperhatikan (1) peristiwa, (2) pelaku, dan (3) waktu terjadinya. Di samping itu juga diperlukan analogi (qiyas) untuk menarik makna ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbab an-nuzul. Analogi yang dimaksudkan di sini adalah analogi yang mengedepankan al-maslahah al-mursalah dan mengantar pada kemudahan pemahaman agama.

Selain kedua kaedah tersebut di atas, ada lagi kaedah lain yang dirumuskan para ulama, yaitu:

اَلْعبْرَةُ بمقَاصد الشَّريْعَة لاَ بعُمُوْم اللَّفْظ أَوْ بخُصُوص السَّبَب

Maqâshid asy-asyarî`ah (tujuan ditetapkannya hukum) yang menjadi pegangan, bukan pada lafal atau sebab khususnya.

Rumusan teori yang ditawarkan tersebut di atas sesungguhnya bukanlah untuk dipertentangkan melainkan agar dapar mengaplikasikan asbab an-nuzul sebagai bagian dari tafsiran al-Qur’an dalam merespon dan menjawab problem yang dihadapi umat. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan dalam melihat konteksnya, ada ayat yang harus dipahami sesuai konteks asbâb an-nuzul-nya dan ada juga yang dipahami berdasarkan keumuman redaksinya serta memperhatikan tujuan penetapan hukumnya serta hikmahnya. Atau dipahami berdasarkan konteks asbâb an-nuzûl-nya, lalu dianalogikan terhadap masalah lain karena adanya persamaan problem dari peristiwa yang melatarinya dengan mengacu pada kemaslahatan.

Aplikasi Asbab an-Nuzul Dalam Merespon dan Menjawab Problem Umat

Memahami dan mengaplikasikan asbab an-nuzul dalam merespon dan menjawab problem sosial kemanusiaan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan, di antaranya aspek kesejarahan. Kajian asbab an-nuzul ini tidak terlepas dari kajian sejarah, khususnya di saat dan menjelang turunnya ayat al-Qur’an. Sangat menarik dan patut ditiru apa yang dilakukan Prof. Nasaruddin Umar dalam kajiannya tentang kesetaraan jender perspektif al-Qur’an.[11] Beliau mengemukakan sejarah pra Islam dan situasi internasional menjelang turunnya al-Qur’an serta sistem kekerabatan dan relasi jender masyarakat Arab. Dalam konteks ini, Sayid Muzaffaruddin Nadvi[12] juga telah memberikan kontribusi melalui kajiannya mengenai batasan wilayah Arabia pada periode turunnya al-Qur’an, sebab hal ini sangat membantu dalam memahami dan mengaplikasikan asbab an-nuzul dengan mempertimbangkan aspek historis. Menurutnya, periode turunnya al-Qur’an wilayah Arabia meliputi lima provinsi. 1) Provinsi Arud terdiri atas distrik Yamama, Bahrain, dan Oman. 2) Provinsi Nejd. 3) Provinsi Yaman. Distrik yang populer di provinsi ini antara lain; Hadramaut, San’a, Ahqaf, dan Najran. 4) Provinsi Hijaz terdiri atas beberapa distrik atau kota, di antaranya Mekah, Madinah, Thaif, Tabuk, Khaibar, dan Midian. Karakteristik dan cultural suatu masyarakat yang kemudian melatarbelakangi turunnya al-Qur’an pada masa lalu sangat penting dianalisis lalu dikaitkan dengan konteks masyarakat masa kini di era kontemporer.

Sebagai contoh asbâb an-nuzûl ayat 120 surat al-Baqarah.

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.

Asbâb an-nuzûl ayat ini terkait dengan masyarakat Nasrani Najran. Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa orang-orang Yahudi Madinah dan Nasrani Najran mengharap agar Nabi SAW. shalat menghadap kiblat mereka. Ketika Allah SWT. mengalihkan kiblat ke Ka`bah, mereka keberatan. Mereka bersekongkol dan berusaha agar Nabi SAW. menyetujui arah kiblat sesuai dengan agama mereka. Maka Allah menurunkan ayat tersebut.[13]

Asbab an-nuzul ayat tersebut memberikan informasi bahwa Yahudi dimaksud adalah Yahudi Madinah dan Nasrani Najran. Sejarah telah mencatat bahwa Yahudi di Madinah itu bermacam-macam sifat dan karakternya, ada Yahudi Bani Qainuqa’, Yahudi Bani Nadhir, dan Yahudi Bani Khaibar.[14] Secara geografis, Najran terletak di wilayah Arab Selatan dan merupakan wilayah resmi bagi agama Nasrani.[15] Najran merupakan sentral kegiatan keagamaan dan pengembangan agama Nasrani sehingga penganutnya sangat fanatik dan sangat membenci dan memusuhi orang-orang yang berbeda keyakinan dengan mereka. Bukan hanya Islam yang dimusuhi, tetapi penganut agama Yahudi pun juga dimusuhi.[16] Sikap mereka ini berbeda dengan orang-orang Nasrani yang berada di luar wilayah Najran. Mereka ada yang tidak memusuhi, tetapi justru bersikap baik dan damai dengan umat Islam. Buktinya terdapat beberapa ayat al-Qur'an lainnya menegaskan bahwa tidak semua penganut agama Yahudi dan Nasrani itu sama, di antara mereka ada yang justru akrab dan saling berkasih sayang dengan umat Islam.[17]

Bertolak dari asbâb an-nuzûl dengan pertimbangan historis tersebut di atas, maka penafsiran yang relevan adalah seperti yang dikemukakan Muhammad Thahir ibn `Âsyûr at-Tûnisî dalam tafsirnya at-Tahrîr wa at-Tanwîr (Pembebasan dan Pencerahan), bahwa ayat tersebut di atas adalah berbentuk bahasa kinayah (kiasan) yang mengandung arti bahwa kalau Nabi SAW. tidak mungkin bahkan mustahil mengikuti agama mereka, maka mereka pun juga tidak mungkin mengikuti agama yang dibawa Nabi SAW. Atau ungkapan seperti ini sama dengan ayat لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنٌ (bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku) tidak ada pemaksaan dalam menganut sebuah agama.[18] Bukan berarti bahwa mereka selalu ingin memurtadkan umat Islam, sehingga mereka perlu selalu dicurigai. Kalau pun ada di antara mereka oknum tertentu terbukti berupaya merayu dan mengajak orang lain untuk meyakini kebenaran agama mereka itu adalah masalah lain. Dengan demikian, pemahaman asbâb an-nuzûl ayat tersebut sangat membantu dalam memahami ayat tersebut dan relevan dengan konteks komunitas masyarakat yang hidup berdampingan dan berinteraksi dalam pluralitas agama.

Demikian juga ayat tentang kepemimpinan orang-orang Yahudi dan Nasrani atau agama lain bagi umat Islam. Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. (QS. Al-Mâidah/5: 51).

Diriwayatkan dari sahabat `Ubadah ibn ash-Shamit bahwa Abdullah ibn Ubay ibn Salul seorang tokoh munafik di Madinah dan `Ubadah ibn ash-Shamit seorang tokoh Islam terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa`. Ketika Bani Qainuqa` memerangi Rasulullah SAW. Abdullah ibn Ubay tidak melibatkan diri sehingga `Ubadah ibn Shamit datang kepada Rasulullah SAW. untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatan perjanjiannya dengan Yahudi Bani Qainuqa` serta menggabungkan diri kepada Rasulullah SAW. dan menyatakan setia dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam peristiwa inilah maka turun ayat tersebut. (Riwayat Ibn Ishaq, Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim, dan Baihaqi).[19]

Dalam sejarah disebutkan bahwa orang-orang Yahudi datang dan mendiami Yasrib (Madinah) sejak tahun 70 M setelah kerajaaan Romawi menyerang Baitul Maqdis. Mereka mendominasi wilayah dan tempat yang menjadi sumber air sebagai bahan dan modal perekonomian masa depan. Dalam perkembangannya kemudian, orang-orang Yahudi berhasil membangun kekuatan dan kekuasaan ekonomi melalui sektor pertanian, ekonomi, politik, industri, perdagangan, managemen keuangan, dan lain-lain.[20] Dalam kondisi dimana hegemoni Yahudi sudah tertancap dan terbangun di Madinah, orang-orang Islam dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW. datang di Madinah sehingga mereka merasa terancam. Oleh karena itu dalam berbagai kasus mereka selalu berbuat curang dan licik dalam rangka membangun, merebut dan mempertahankan hegemoni kekuasaan politik dan ekonomi mereka, seperti memakan sogok, riba, dan lain-lain. Demikian juga pengingkaran dan pengkhianatan terhadap perjanjian dengan umat Islam yang dilakukan Yahudi Bani Qainuqa` yang merupakan salah satu suku di Madinah yang sangat berpengaruh dan mempunyai andil dan peran yang sangat besar dalam suksesnya agama Yahudi di sana, seperti yang diungkapkan dalam asbâb an-nuzûl ayat tersebut di atas.[21] Semuanya dalam rangka membangun hegemoni kekuasaan politik dan ekonomi Yahudi di Madinah.

Dengan demikian, asbâb an-nuzûl ayat tersebut di atas jelas bahwa larangan menjadikan mereka sebagai pemimpin terkait dengan pengkhianatannya terhadap ikatan perjanjian yang telah disepakati dengan umat Islam. Seorang pengecut, pengkhianat, ingkar janji, dan sifat-sifat yang hanya mementingkan keuntungan sendiri dan golongannya serta menghancurkan umat dan kepentingan bersama, maka ia tidak layak dijadikan pemimpin. Dengan demikian, pelarangan untuk mengangkat seorang pemimpin bukan karena agamanya, akan tetapi lebih pada sifat, sikap dan karakternya. Prof. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa ayat-ayat yang melarang kaum muslimin mengangkat awliyâ' (pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari golongan Yahudi dan Nasrani serta selain mereka, harus dipahami dalam konteks kepentingan ekonomi dan politik.[22] Orang-orang Yahudi Bani Qainuqa` diusir dari Madinah karena pelanggaran dan pengkhianatannya terhadap perjanjian yang telah disepakati dengan Nabi SAW. serta permusuhannya dengan umat Islam.[23] Sementara orang-orang Yahudi dari Khaibar tidak diusir, karena mereka tidak memusuhi umat Islam. Bahkan Nabi SAW. membiarkan mereka tinggal di Madinah dan mengelola lahan pertanian dengan ketentuan hasilnya dibagi dua; sebagian mereka ambil dan sebagiannya diserahkan ke Bait al-Mal untuk kepentingan umat Islam.[24]

Dalam masalah ketimpangan sosial dan ketidakadilan, khususnya pada kasus kewarisan yang menimpa anak yatim dan anak-anak perempuan secara umum merupakan asbab an-nuzul ayat 11 surat an-Nisa’.

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Diriwayatkan dari Jabir ibn Abdullah, katanya: “Isteri Sa`ad ibn Rabi` bersama dua puterinya datang kepada Rasulullah SAW. dan bertanya: “Wahai Rasulullah, kedua anak perempuan ini adalah puteri Sa`ad ibn ar-Rabi` yang gugur syahid di perang Uhud bersama Anda. Kedua pamannya telah mengambil semua harta warisan mereka. Sedang mereka tidak bisa (sulit) nikah tanpa memiliki harta. Nabi SAW. menjawab: “Allah-lah yang memutuskannya, maka turunlah ayat ini. (HR. Tirmidzi).[25] Menurut Tirmidzi, hadis ini kualitasnya hasan sahih. Riwayat seperti ini juga diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah.[26]

Dalam skala mikro, asbab an-nuzul tersebut dalam konteks kedua puteri Sa`ad ibn Rabi`. Namun ayat tersebut turun bukan hanya sekedar untuk menjawab permasalahan keluarga Sa`ad ibn Rabi` saja, melainkan untuk umat secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam skala makro, asbab an-nuzul tersebut menggambarkan bahwa al-Qur’an turun untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan umat, yakni ketimpangan dan ketidakadilan sosial dalam masyarakat, seperti yang dialami puteri Sa`ad ibn Rabi`, sudah menjadi yatim, mereka juga tidak mendapat warisan. Intinya bahwa sistem kewarisan yang ditetapkan itu tujuannya adalah mewujudkan keadilan dalam memberikan pelayanan dan kepemilikan hak, baik sebagai anak yatim, anak perempuan, laki-laki maupun ibu yang berstatus janda. Mereka ini perlu mendapat pelayanan dan perlindungan secara adil.

Asbab an-nuzul sebagai respon psikologis yang memotivasi kesadaran mental, spiritual dan emosional yang kontinyu, contoh ayat 114 Surat Hud.

وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Hud [11]: 114

Diriwayatkan dari Ibnu Mas`ud bahwa seorang laki-laki telah mencium seorang perempuan yang bukan mahram-nya. Lalu ia datang kepada Nabi SAW. melaporkan apa yang telah ia lakukan, maka Allah menurunkan ayat tersebut.” (HR. Bukhari).[27] Riwayat seperti ini juga diriwayatkan Muslim dalam Shahîh-nya Kitab at-Taubah, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Ibnu Mas`ud.[28]

Dalam riwayat Tirmidzi, disebutkan bahwa orang yang telah berbuat dosa dengan mencium perempuan yang bukan mahram-nya itu bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai kaffarat atau tebusan terhadap dosanya itu. Dengan pertanyaan itu, maka turunlah ayat tersebut yang menegaskan bahwa perbuatan baik, seperti mendirikan shalat dapat menghapus perbuatan yang jahat. Menurut Tirmidzi, hadis ini kualitasnya hasan sahih.

Asbab an-nuzul tersebut tidak hanya sekedar menceritakan kasus pencabulan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap perempuan. Akan tetapi, dalam skala makro, asbab an-nuzul tersebut mengajarkan mengenai perlunya kesadaran setelah melakukan kesalahan dan pelanggaran hukum. Kesadaran yang dibutuhkan bukanlah kesadaran sesaat, melainkan kesadaran yang bersifat kontinyu untuk selalu berbuat baik. Salah satu bentuk perbuatan baik ialah melaksanakan shalat. Dalam ibadah shalat yang banyak melakukan gerakan ruku’ dan sujud diawali dengan ucapan kalimat takbir al-IhramAllahu Akbar”. Pernyataan ini mengandung arti simbolik sebagai bentuk pengakuan tauhid dan pemantapan hubungan secara vertikal kepada Allah. Setiap saat menyadari diri bahwa seluruh gerak langkah dalam kehidupan ini berada dalam jangkauan pengawasan Allah yang Maha Besar. Demikian pula shalat diakhiri dengan ucapan as-Salâm, yaitu dengan mengucapkan “Assalâmu‘alaikum Wa Rahmatullâh”. Mengucapkan as-Salâm ini sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, mengandung arti simbolik bahwa seolah-olah berikrar dan berjanji di hadapan Allah untuk bersedia dan selalu berbuat sesuatu yang membuat keselamatan, kedamaian, dan ketentraman terhadap orang lain dan lingkungan tempat di mana ia berada. Dengan kebaikan itu akan menghapus kejahatan. Maksudnya, bahwa dengan kesadaran kontinyu itu menutup peluang untuk berbuat kejahatan.

Dalam konteks seperti ini juga dialami Abu Dzarr al-Ghifar, seorang mantan panglima perampok datang kepada Nabi SAW. dan menyatakan tobat dan ingin menetap di Mekah bersama Nabi SAW. Menjawab keinginannya itu, beliau bersabda: “Bertakwalah kepada Allah di mana pun berada, ikutilah kejahatan itu dengan kebaikan niscaya menghapusnya, dan bergaullah kepada orang lain dengan mengedepankan akhlak terpuji”. (HR. Tirmidzi). Kesadaran seperti inilah yang ingin dibangun melalui asbab an-nuzul tersebut.

Penutup

Asbab an-nuzul tidak hanya sekedar kumpulan riwayat mengenai data sejarah yang melatari turunnya ayat-ayat al-Qur’an melainkan perlu dielaborasi dan diaplikasikan maknanya sebagai bagian dari cara al-Qur’an mendialogkan dirinya dengan problem yang dihadapi umat. Dalam konteks tafsir yang responsif terhadap realitas dan problem sosial budaya masyarakat, maka peristiwa yang dikemukakan dalam riwayat asbab an-nuzul, selain dilihat dalam skala mikro, juga perlu diperhatikan dan dianalisis dalam skala makro tanpa mengabaikan kaedah-kaedah penafsiran.

Daftar Pustaka

Abû al-Hasan `Ali ibn Ahmad al-Wâhidî, Asbâb an-Nuzûl, Beirût: Dâr al-Fikr, 1411 H/1991 M.

Abû `Isâ Muhammad ibn `Isâ ibn Saurah at-Turmidzî, Sunan at-Turmidzî, Tahqîq ‘Abd al-Wahhâb ‘Abd al-Lathîf, Semarang: Maktabah Toha Putra, t.th,

Akram Dhiya' al-`Umarî, as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah Muhawalah li Tathbiq Qawa`id al-Muhadditsin fi Naqd Riwayah as-Sirah an-Nabawiyah Diterjemahkan oleh Abdul Rosyad Shidiq, “Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif”, Jakarta: Dar al-Falah, 2004 M, Cet. I

Jalâl ad-Dîn `Abd ar-Rahmân as-Suyûthî, Lubâb an-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl, Riyâdh: Maktabah ar-Riyâdh al-Hadîtsiyyah, t.th.

______, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma'tsûr, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1421 H/2000 M, Juz I.

Khalîl `Abd al-Karîm, Quraisy min al-Qabîlah ilâ ad-Daulah al-Markaziyyah, Diterjemahkan oleh M. Faisol Fatawi, "Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan", (Yogyakarta: LKiS, 2002), Cet. I.

Muhammad `Abd al-`Azhim adz-Dzarqânî, Manâhil al-`Irfan fi `Ulum al-Qur’an Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/1988 M, Juz I

Muhammad Bakar Isma`il, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Kairo: Dâr al-Manâr, 1411 H/1991 M, Cet. I

M. H. Thabathaba`i, Al-Qur’an fi al-Islam Diterjemahkan A. Malik Madani dan Hamim Ilyas “Al-Qur’an Mengungkap Rahasia Al-Qur’an”, Bandung: Mizan, 1990 Cet. III

Muhammad ibn Ishâq, as-Sirah an-Nabî, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz II.

Muhammad ibn Ismâ`îl al-Bukhârî, Shâhîh al-Bukhârî, Tahqîq Syaikh `Abd al-`Azîz ibn `Abdullah ibn Bâz, t.tp: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M.

M. Quraish Shihab, "Membumikan" Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996, Cet. XIII.

______, Wawasan Al-Qur'an Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996, Cet. IV.

______, (Ketua Tim Penulis), Sejarah & `Ulûm Al-Qur’ân, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, Cet. II

Muhammad Shahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami Diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin “Metodologi Fiqih Islam Kontemporer”, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004, Cet. II.

Muhammad ath-Thâhir ibn `Âsyûr at-Tûnisî, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Tûnis: ad-Dâr at-Tûnisiyyah, t.th. Juz I dan II.

Muqbil ibn Hâdi Al-Wâdi`î, ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûl, Riyâdh: Maktabah al-Ma`ârif, 1400 H/1979 M.

Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001, Cet. II.

Nashr Hamid Abû Zaid, Mafhûm an-Nash Dirâsah fî `Ulûm al-Qur’ân, t.tp.: al-Hai’ah al-Mishriyah al-`Âmmah li al-Kitâb, 1993.

Philip K. Hitti, History Of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, Terjemah oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, "History Of The Arabs", Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005, Cet. I.

Sayid Muzaffaruddin Nadvi, A Geographical History of The Qur’an, diterjemahkan Jum`an Basalim, “Sejarah Gegrafi Qur’an”, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, Cet. II.

Shafî ar-Rahmân al-Mubârakfûrî, ar-Rahîq al-Makhtûm Terjemah Rahmat, "Sejarah Hidup Muhammad; Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Robbani Press, 2002 M), Cet. III.

Wahbah az-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1996, Juz I.

Wajidi Sayadi

Dosen Tafsir dan Hadis di STAIN Pontianak. Lahir di Campalagian Polmas Sulawesi Barat, 1968. Menyelesaikan program S.1 di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis. Program Magister dan Doktor dalam bidang Tafsir Hadis diselesaikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1999 dan 2006 dengan Disertasi berjudul Telaah Kritis atas Riwayat Asbab an-Nuzul dalam Tafsir Al-Marâgî (Suatu Studi dengan Analisis Ilmu Kritik Hadis). Sebelumnya juga pernah mengikuti Islamic College di Universitas Islam Syekh Yusuf di Jakarta. Telah menulis buku: "Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” Jakarta: Rajawali Press 2001, Menulis beberapa entri dalam buku “Ensiklopedi Al-Qur’an Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya”, Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002, Menyikapi Hadis-Hadis yang Saling Bertentangan; Hadis-Hadis Nâsikh dan Mansûkh, Jakarta: Pustaka Firdaus 2004. Menimbang Hadis-Hadis Tafsir Dalam Tafsir Al-Qur'an Departemen Agama RI. Makalah disampaikan dalam Musyawarah Kerja Ulama Tafsir Al-Qur'an Regional Sulawesi dan Kalimantan di Gorontalo 20-22 Mei 2007. Karya tulis lainnya “Mengkritisi Riwayat Asbab an-Nuzul: Aplikasi Ilmu Kritik Hadis dalam Menyeleksi Kebenaran Suatu Riwayat” dalam “JAUHAR” Jurnal Pemikiran Islam Kontemporer Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan “Kritik Hadis: Menuju Pendekatan Kontekstual” dalam “Khatulistiwa” Journal Islamic Studies STAIN Pontianak serta Telaah Kritis atas Hadis-Hadis Dakwah Populer dalam “al-Hikmah” Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam STAIN Pontianak.



[1] Makalah ditulis dalam rangka acara Annual Conference on Islamic Studies pada Workshop Tafsir/Ilmu Tafsir bagi para Dosen PTAI se-Indonesia, Pekanbaru, 21-24 November 2007.

[2] Hal ini berbeda dengan sikap Dr. Ir. Muhammad Shahrur yang menolak keberadaan asbab an-nuzul khususnya dalam konteks kontemporer dalam bukunya Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami Diterjemahkan Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin “Metodologi Fiqih Islam Kontemporer”, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), Cet. II h. 133-4. Sedangkan Muhammad Husain ath-Thabathaba’i menerima keberadaan asbab an-nuzul, namun secara selektif dan kritis, sebagaimana dilihat dalam bukunya Al-Qur’an fi al-Islam Diterjemahkan A. Malik Madani dan Hamim Ilyas, “Mengungkap Rahasia Al-Qur’an”, (Bandung: Mizan, 1990), Cet. III h. 121-125 dan Tafsirnya al-Mizan.

[3] M. Quraish Shihab, "Membumikan" Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. XIII h. 88-90.

[4] Penegasan ini dikemukakan Nashr Hamid Abû Zaid dalam bukunya Mafhûm an-Nash Dirâsah fî `Ulûm al-Qur’ân, (t.tp.: al-Hai’ah al-Mishriyah al-`Âmmah li al-Kitâb, 1993), h. 109.

[5] Muhammad Bakar Isma`il, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1411 H/1991 M), Cet. I h. 175; Muhammad `Abd al-`Azhim adz-Dzarqânî, Manâhil al-`Irfan fi `Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/1988 M), Juz I h. 108.

[6] M. Quraish Shihab (Ketua Tim Penulis), Sejarah & `Ulûm Al-Qur’ân, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), Cet. II h. 78.

[7] Muhammad ath-Thâhir ibn `Âsyûr at-Tûnisî, at-Tahrîr wa at-Tanwîr (Tûnis: ad-Dâr at-Tûnisiyyah, t.th.) Juz I h. 24.

[8] Wahbah az-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1996), Juz I h. 273-4.

[9] Selengkapnya dapat dilihat dalam Muhammad `Abd al-`Azhim adz-Dzarqânî, Manâhil al-`Irfan fi `Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/1988 M), Juz I h. 123-134. Ia mendiskusikan alasan-alasan kedua kelompok di atas. Namun, pada akhirnya ia lebih cenderung pada pandangan mayoritas ulama.

[10] M. Quraish Shihab, "Membumikan" Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. XIII h. 88-90.

[11] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. II h. 93-134.

[12] Sayid Muzaffaruddin Nadvi, A Geographical History of The Qur’an, diterjemahkan Jum`an Basalim, “Sejarah Gegrafi Qur’an”, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, Cet. II h. 63-76.

[13] Jalâl ad-Dîn `Abd ar-Rahmân as-Suyûthî (selanjutnya disebut as-Suyûthî), Lubâb an-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl, (Riyâdh: Maktabah ar-Riyâdh al-Hadîtsiyyah, t.th.), h. 19; as-Suyûthî, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma'tsûr, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1421 H/2000 M), Juz I h. 272; `Ali ibn Ahmad al-Wâhidî (selanjutnya disebut al-Wâhidî), al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-`Azîz (populer juga dengan nama Tafsîr al-Wâhi, Tahqîq Shafwân `Adnan Dâudî, (Beirût: Dâr al-Qalam, 1415 H), Cet. I Juz I h. 129; al-Husain ibn Mas`ûd al-Farrâ' al-Bagawî (selanjutnya disebut al-Bagawî), Ma`âlim at-Tanzîl (Populer dengan nama Tafsîr al-Bagawî) Tahqîq al-Khâlid al-`Ak, (Beirût Dâr al-Ma`rifah, 1407 H/1987 M), Cet. II Juz I h. 110.

[14] Karakteristik mereka ini akan diuraikan pada asbab an-nuzul ayat 51 surat al-Maidah.

[15] Khalîl `Abd al-Karîm, Quraisy min al-Qabîlah ilâ ad-Daulah al-Markaziyyah, Diterjemahkan oleh M. Faisol Fatawi, "Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan", (Yogyakarta: LKiS, 2002), Cet. I h. 136; Orang-orang Arab Selatan kebanyakan adalah orang-orang perkotaan, yang tinggal di Yaman, Hadramaut dan di sepanjang pesisirnya. Mereka menggunakan bahasa Semit kuno, Sabaea atau Himyar, yang dekat dengan bahasa Etiopia di Afrika. Sedang orang-orang Arab Utara kebanyakan orang-orang yang nomad yang tinggal di "rumah-rumah bulu" di Hijaz dan Nejed. Mereka menggunakan bahasa Arab al-Qur'an. Lihat, Philip K. Hitti, History Of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, Terjemah oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, "History Of The Arabs", (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. I. h. 37.

[16] Ketika orang Nasrani Najran bertengkar dengan pendeta Yahudi di depan Nabi SAW. Pendeta Yahudi berkata: “Kalian ini tidak beragama, sebab telah mengingkari Nabi Isa dan Injil.” Orang-orang Nasrani pun menjawabnya: “Justru kalian yang tidak beragama, sebab telah mengingkari Nabi Musa dan Taurat”, maka Allah menurunkan ayat 113 Surat al-Baqarah. Lihat Muhammad ibn Ishâq, as-Sirah an-Nabî, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz II h. 175; Abû Ja`far ibn Jarîr ath-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1405 H/1984 M), Juz II h. 495; Abû al-Hasan `Ali ibn Ahmad Al-Wâhidî, Asbâb an-Nuzûl, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1411 H/1991 M), h. 22.

[17] Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu (Yahudi dan Nasrani) ada yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang. (QS. Âli `Imrân/3: 113). Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". (QS. Al-Mâidah/5: 82). Selanjutnya lihat dalam QS. Âli `Imrân/3: 75 dan 199.

[18] Muhammad ath-Thâhir ibn `Âsyûr at-Tûnisî, at-Tahrîr wa at-Tanwîr (Tûnis: ad-Dâr at-Tûnisiyyah, t.th.) Juz II h. 399.

[19] As-Suyûthî, Lubâb an-Nuqûl , Lubâb an-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl, (Riyâdh: Maktabah ar-Riyâdh al-Hadîtsiyyah, t.th.), h. 90; as-Suyûthî, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma'tsûr, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1421 H/2000 M), Juz III h. 98.

[20] Khalîl `Abd al-Karîm, Quraisy min al-Qabîlah ilâ ad-Daulah al-Markaziyyah, Diterjemahkan oleh M. Faisol Fatawi, "Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan", (Yogyakarta: LKiS, 2002), Cet. I h. 121-124.

[21] Isi perjanjian orang-orang Yahudi dengan Nabi SAW. terdiri atas 12 point. Inti perjanjian itu adalah membangun toleransi dan kerjasama saling menjaga dan membantu terutama jika ada yang menyerang Madinah. Lalu kemudian Yahudi Bani Qainuqa` yang dikenal sebagai suku pemberani dan brutal yang pertama kali melanggar dan mengkhianati perjanjian perdamaian dengan Nabi SAW. itu. Lihat, Shafî ar-Rahmân al-Mubârakfûrî, ar-Rahîq al-Makhtûm Terjemah Rahmat, "Sejarah Hidup Muhammad; Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Robbani Press, 2002 M), Cet. III h. 261-262 dan 328-331.

[22] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. IV h. 362.

[23] Akram Dhiya' al-`Umarî, as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah Muhawalah li Tathbiq Qawa`id al-Muhaddits fi Naqd Riwayah as-Sirah an-Nabawiyah Diterjemahkan oleh Abdul Rosyad Shidiq, “Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif”, (Jakarta: Dar al-Falah, 2004 M), Cet. I hal. 313—318.

[24] Akram Dhiya' al-`Umarî, as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah: …, hal. 348-349. Sejarah ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari, Muslim, dan Abu Daud.

[25] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi Kitab al-Faraidh `aun Rasulillah Bab ma ja fi Mirats al-Banat, Hadis No. 2092.

[26] Abu Daud, Sunan Abi Daud Kitab al-Faraidh Bab Ma ja’ fi Mirats al-Shulb Hadis no. 2891; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah Kitab al-Faraidh Bab Faraidh ash-Shulb, Hadis No. 2720.

[27] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Kitab Mawaqit ash-Shalah Hadis No. 526 dan Kitab Tafsir al-Qur’an Hadis No. 4687.

[28] Muslim, Shahih Muslim, Kitab at-Taubah Hadis No. 2763; Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Kitab Tafsir al-Qur’an Hadis No. 3114; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah Kitab Iqamah ash-Shalah wa as-Sunnah fiha Hadis No. 1398 dan Kitab az-Zuhd Hadis No. 4254; Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal Hadis No. 3654.