Profil

Minggu, 16 Maret 2008

Artikel

MEMAHAMI BAHASA AGAMA [1]

Oleh: Wajidi Sayadi[2]

Ada beberapa cara dalam memahami bahasa agama, di antaranya melalui pendekatan sejarah, pendekatan hukum secara normatif, dan pendekatan filosofis atau hikmah di balik ketetapan agama itu. Hampir seluruh prosesi kegiatan ibadah dalam Islam dan ketetapan ajaran lainnya dapat dipahami dengan pendekatan seperti ini. Selama ini ibadah dan ritual lainnya dalam Islam umumnya dipahami dengan pendekatan hukum semata. Hampir semuanya dilihat dalam kacamata hukum; seputar antara wajib, sunnat, haram, dan makruh. Ketika diingatkan agar berkurban di hari raya Idul Adha ini, dijawabnya bahwa berkurban itu hukumnya tidak wajib, hanya sunnat muakkad saja. Pada saat yang sama, diingatkan agar tidak terlalu banyak merokok akibatnya bisa merusak kesehatan, jawabannya, merokok itu tidak haram, tidak ada dalil yang mengharamkannya. Demikian pula dalam masalah ibadah ritual, hampir semuanya dilihat dalam perspektif hukum saja. Terkesan pendekatan hukum yang lebih dikedepankan inilah yang kemudian terkadang sampai pada taraf seringkali saling menyalahkan dengan menggunakan istilah bid`ah alias haram dilakukan dan merasa dialah yang paling benar. Rasa tawadhu` dan wara` terkadang diabaikan. Oleh karena itu, pendekatan filosofis atau dalam arti meneropong ruang hikmah yang terkandung dalam prosesi ibadah dan ketetapan ajaran Islam lainnya juga penting sehingga tidak boleh diabaikan dan dijauhi. Pendekatan seperti ini akan memperluas, memperdalam, dan mempertajam serta dapat lebih mencerahkan pemahaman dan mengantar pada pengamalan agama secara sejuk. Demikian pula, pendekatan historis atau sejarah juga baik dalam rangka mengkomunikasikan masa lalu dengan masa kini untuk menjadi pelajaran masa akan datang. Semua pendekatan ini tidak dipertentangkan tapi justru akan saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Mengedepankan makna filosofis dan hikmah tapi melabrak dan menanggalkan syariatnya juga tidak benar. Dalam kaedah agama disebut Maqashid asy-Syari`ah. Tujuannya diperhatikan dan syariatnya tetap berlaku. Mengganti qurban dengan nilai uang, dengan alasan bahwa makna filosofis dan hikmahnya adalah untuk membantu dan membangun solidaritas sosial terutama bagi mereka yang tidak mampu. Berqurban dengan uang, maka tujuan itu akan lebih tercapai. Pemahaman seperti ini dinilai keliru, mengedepankan hikmah, tapi melabrak dan menanggalkan syariatnya. Syariatnya adalah harus berupa penyembelihan hewan yang memenuhi syarat.

Dalam konteks hari Raya Idul Adha 1428 H ini kita diingatkan oleh dua peristiwa besar dan penting yang dicatat oleh sejarah dan diabadikan oleh al-Qur’an, yaitu peristiwa ibadah haji dan peristiwa drama kehidupan Nabi Ibrahim As yang ingin mengorbankan putera kesayangannya, namun ternyata diganti oleh Allah dengan seekor kibas. Inilah yang kemudian menjadi ketetapan syariat ibadah qurban.

Kalau boleh dikatakan bahwa prosesi ibadah haji dan qurban ini sangat banyak menggunakan bahasa simbolik sehingga layak dipahami dengan pendekatan filosofis dan hikmah, tidak semata-mata pendekatan hukum yang lebih mengedepankan sosok lahiriah. Munculnya kritikan tajam bahwa orang-orang Islam mengaku bertuhan hanya kepada Allah dan tidak boleh menyembah berhala, justru mereka datang berlomba-lomba ke Mekah tiap tahun hanya untuk menyembah batu dengan cara berkeliling. Kekeliruan ini muncul, karena ajaran Islam hanya dilihat pada sisi lahiriahnya saja, tanpa dilihat makna filosofi dan hikmah di balik ketentuan ajaran ibadah tersebut.

Bahasa Nabi SAW. yang dikenal melalui hadis-hadis juga banyak menggunakan bahasa simbol dan latar belakang tertentu, sehingga tidak serta merta harus dipahami secara tekstual seperti apa adanya. Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari bersumber dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW. bersabda: “Orang mukmin itu makan dengan menggunakan satu usus, sedang orang kafir makan dengan tujuh usus”. Kalau hadis ini dipahami secara lahiriah dan tekstualnya saja, maka muncul pertanyaan apakah susunan organ anatomi tubuh manusia, misalnya usus seseorang bisa berbeda dengan orang lain hanya karena perbedaan ideologi atau perbedaan agama? Jawabannya, tentu tidak, sebab hadis ini menggunakan bahasa simbolik. Maksudnya, hadis ini menunjukkan perbedaan sikap dan pandangan dalam menyikapi nikmat Allah, termasuk ketika makan. Orang beriman itu sebaiknya memandang makan itu bukan sebagai tujuan hidup, tidak boleh serakah.

Saat ini adalah bulan haji. Sekitar 2,5 juta umat Islam tengah melaksanakan ibadah haji di Mekah al-Mukarramah. Lalu apa makna dari prosesi ibadah haji itu. Tulisan ini akan mengemukakan pemahaman makna simbolik dari prosesi ibadah haji yang kemudian diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sekarang.

Dalam melaksanakan ibadah haji, pertama-tama yang dilakukan adalah memakai pakaian ihram. Pakaian merupakan lambang sifat dan kepribadian. Artinya sifat-sifat dan karakter yang tidak baik yang selama ini melekat dalam diri kepribadian ditanggalkan dan dibuang, lalu memakai pakaian ihram, pakaian yang sama berupa dua lembar kain yang berwarna putih seperti kain kafan yang membalut tubuh kita ketika meninggal dunia. Ini mengandung arti bahwa mereka yang memakai pakaian ihram ini seharusnya mampu merasakan dan menyadari akan kelemahan dan keterbatasannya serta pertanggungjawaban yang akan dimintai di hadapan Allah yang Maha Kuasa, yang di sisi-Nya tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara pejabat dan rakyat biasa, antara pimpinan dan bawahan, antara orang bangsawan dan yang bukan. Semuanya sama di hadapan Allah Swt. Yang membedakan hanya kadar pengabdian dan kedekatannya kepada Allah Swt. Allah SWT. berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”. (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Kedua, Ka’bah melambangkan tentang keesaan Allah. Semua orang yang berasal dari berbagai latar belakang bangsa dan negara beribadah menuju pada tempat yang sama dan satu dengan niat yang sama. Di sisi Ka’bah ada Hijr Ismail. Hijr Ismail, artinya tempat pangkuan Ismail. Di sinilah tempat Ismail dipangku oleh ibunya yang bernama Hajar. Hajar adalah seorang wanita yang berkulit hitam, miskin, bahkan ia seorang budak. Namun demikian, Hajar seorang budak ini ditempatkan oleh Allah Swt. di tempat yang mulia, yaitu di sisi Ka’bah dan peninggalannya diabadikan oleh Allah. Ini artinya agar menjadi pelajaran buat kita bahwa Allah Swt. memberi kedudukan dan kehormatan untuk seseorang bukan karena keturunan, pangkat, jabatan, kekayaan atau status sosial lainnya, akan tetapi Allah menilai dan mengangkatnya berdasarkan besarnya pengabdian dan kedekatannya kepada Allah Swt.

Ketiga, Thawaf artinya mengelilingi Ka’bah. Ini melambangkan bahwa segala aktivitas dan kegiatan hidup kita harus berpusat kepada Allah dan dalam melaksanakan pekerjaan apa pun bentuknya harus dimulai dengan menyebut dan mengingat Allah. Berkeliling-keliling Ka’bah melambangkan bahwa pelakunya harus berbaur, lebur, dan larut bersama orang-orang lain serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama, yakni tetap dalam lingkungan Allah Swt.

Keempat, Sa’i artinya lari-lari kecil dan bolak balik antara Shafa dan Marwa. Ini mengandung arti bahwa dalam hidup ini kita harus bergerak, aktif berusaha dan kerja keras, tidak boleh pasif dan duduk bermalas-malasan. Shafa artinya bersih dan suci. Dan Marwa artinya puas dan murah hati. Ini mengandung arti bahwa dalam berusaha dan kerja keras harus diawali dengan niat yang bersih dan dengan cara yang bersih juga, sehingga hasilnya akan memuaskan

Kelima, wukuf di ‘Arafah. ‘Arafa artinya mengenal. Maksudnya, bahwa seluruh jemaah haji yang wukuf di padang ‘Arafah ini diharapkan mampu mengenal siapa dirinya, mengenal dan menyadari dosa-dosanya selama ini, mengenal dan mengetahui bagaimana cara ia akan kembali menuju kepada Allah, mengenal akan akhir perjalanan hidupnya serta pertanggungjawabannya nanti di akhirat kelak.

Setidaknya ada lima prinsip dasar hidup yang dapat diambil dari makna filosofis atau hikmah dari prosesi ibadah haji sebagaimana yang disebutkan tadi, yaitu: pertama, prinsip tauhid. Artinya, seluruh aktifitas dalam hidup dan kehidupan kita ini harus berlandaskan pada tauhid, bahwa hanya dengan kehendak dan kekuasaan Allah yang Maha Esa, segala sesuatu dapat terjadi, termasuk yang ada pada diri kita manusia dan pada akhirnya kita akan kembali kepada-Nya. Kedua, prinsip persamaan. Dengan berpegang pada prinsip persamaan ini akan melahirkan kesadaran sikap saling menghargai antara satu sama lain dengan mengedepankan akhlakul karimah serta menjauhkan diri dari segala sifat egois dan anarkis yang bisa memicu dan memunculkan konflik dan rasa permusuhan yang pada gilirannya akan merusak ukhuwwah, persaudaraan dan kebersamaan. Ketiga, prinsip kerja keras. Salah satu pintu menuju hidup sukses dan berhasil adalah kerja keras dengan cara yang baik dan benar. Dalam al-Qur’an Allah bersumpah dengan waktu; Demi waktu ashar (wal `ashri), demi waktu siang (wa an-nahari), demi waktu malam (wa al-laili), demi waktu dhuha (wa adh-dhuha), demi waktu fajar (wa al-fajri). Mengapa Allah bersumpah dengan waktu? Salah satu jawabannya, agar manusia benar-benar memperhatikan dan memanfaatkan waktu dengan kerja keras dengan cara yang baik dan benar. Innal insana lafi khusrinٍ (Mereka yang lalai dan tidak memanfaatkan waktu untuk bekerja keras akan termasuk orang-orang yang merugi). Keempat, prinsip ikhlas. Segala apa yang kita lakukan harusnya digerakkan oleh kekuatan tauhid dan proses pelaksanaannya sesuai aturan syariat serta tujuannya akan terpusat hanya karena Allah semata. Kelima, prinsip tanggung jawab. Kita manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, baik secara individu, keluarga, maupun tanggung jawab sosial. Bahwa semua yang pernah dilakukan sekecil apa pun akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat kelak.

Dengan memahami makna simbol yang terkandung dalam prosesi kegiatan ibadah haji ini lalu kemudian diimplementasikan dalam kehidupan realitas sosial kemanusiaan itulah pertanda keberhasilan ibadah haji dan inilah yang dinamakan haji yang mabrur. Kita umat Islam, baik yang sudah haji atau pun yang akan menyusul haji dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari seluruh kegiatan prosesi ibadah haji, mulai dari ihram, tawaf, sa’i, dan wukuf. Terutama dalam konteks kehidupan kita saat ini dimana kita hidup berdampingan dan berinteraksi dengan berbagai macam agama dan keyakinan yang berbeda-beda, etnis dan suku yang beragam, adat istiadat dan kebiasaan serta berbagai macam latar belakang perlu saling menghargai. Tidak menjadikan perbedaan itu sebagai lawan dan musuh, tapi justru dijadikan kekuatan untuk melawan ketertinggalan dan keterbelakangan sebagai musuh bersama.



[1] Sudah dimuat di Borneo Tribune, 24 Desember 2007

[2] Dosen STAIN Pontianak

Tidak ada komentar: