Profil

Rabu, 27 Agustus 2008

Artikel

Membangun Kesalehan Ritual, Sosial, dan Moral

(Tanggapan atas Tulisan Sdr. Rifqi Muslim berjudul Isra' Mi'raj, Membangun Kesalehan Sosial) ¨

Oleh: DR. Wajidi Sayadi, M.Ag.¨

Tulisan sdr. Rifqi Muslim (Pontianak Post, Rabu, 30 Juli 2008) berjudul Isra' Mi'raj, Membangun Kesalehan Sosial adalah sangat menarik. Realitas sosial saat ini umat Islam terkadang kesalehan ritualnya tidak seimbang dengan kesalehan sosial dan moralnya. Kesalehan ritualnya rajin namun kesalehan sosial kemanusiaan dan moralnya lemah dan cukup memprihatinkan. Misalnya, rajin shalat, puasa, dan bolak balik umrah dan haji tapi tidak peduli nasib kemiskinan dan penderitaan sesamanya yang ada di lingkungannya. Hakekat shalat bukan hanya pada gerakan ruku', sujud, dan bacaan rutinitasnya, melainkan bagaimana mengapilkasikan makna gerakan dan bacaan dalam shalat itu ke dalam realitas sosial kemanusiaan. Rajin shalat, tapi rajin juga berbuat maksiat. Rajin shalat berjamaah di masjid, tapi di luar masjid sering berkelahi, memfitnah sesamanya, dan tidak mau peduli terhadap nasib penderitaan sesamanya. Upaya membangun kesadaran akan kesalehan sosial kemanusiaan umat Islam adalah bagus, namun harus dengan cara yang bagus pula. Kesalehan sosial bukan hanya didasarkan pada banyaknya memberikan manffat kepada orang lain, tapi amal yang dilakukan itu didasarkan iman dan ikhlas serta sesuai dengan syariat. Membantu orang lain dengan sesuatu yang berasal dari barang curian dan rampokan, bukanlah amal saleh. Sebab tujuannya baik, tapi caranya tidak benar, melanggar aturan syariat.

Ada beberapa hal yang membuat kami tertarik menanggapi tulisan Sdr. Rifqi Muslim tersebut, di antaranya karena ia menyebut beberapa hadis Nabi SAW. lalu diberi komentar apa adanya dan berkesimpulan sendiri. Hadis Nabi SAW. adalah salah satu sumber hukum Islam selain al-Qur'an, sehingga mengomentari hadis-hadis Nabi SAW. tidak seperti mengomentari teks-teks lain, pernyataan cendikiawan, pengamat politik, ahli ekonomi, dan lain-lain. Kalau keliru, akan menimbulkan implikasi hukum yang cukup fatal dalam masalah pemahaman dan keyakinan dalam beragama. Pertanggungjawabannya, bukan hanya di dunia, tapi sekaligus juga di akhirat. Membaca dan mempelajari hadis Nabi SAW. ada dua hal yang harus diperhatikan; pertama, wurud atau sumber hadis itu. Kedua, dilalah atau makna kandungan hadis itu. Wurud atau sumber hadis itu, apakah sudah benar berasal dari Nabi SAW. atau bukan? Oleh karena itu, kalau ada riwayat perlu dicantumkan dari mana sumber riwayat itu, apakah dari sahabat atau tabiin, dan siapa yang meriwayatkannya. Jangan sampai pernyataan seorang sahabat, ahli hikmah atau kata-kata mutiara dan sudah terlanjur populer dianggap sebagai hadis. Pernyataan seseorang lalu diklaim sebagai hadis Nabi SAW itulah yang disebut hadis palsu. Penelusuran hadis dari sisi sumber inilah yang kemudian muncul istilah ada hadis sahih, hasan, daif, dan maudhu' atau palsu. Memahami makna kandungan suatu hadis juga ada kaedahnya yang sudah dirumuskan oleh para ulama, di antaranya harus mengacu kepada al-Qur'an dan membandingkannya dengan hadis-hadis lain yang mengandung makna yang sama serta mempertimbangkan situasi dan konteks yang melatarbelakangi serta tujuan Nabi SAW. bersabda dan melakukan sesuatu, serta apakah bahasa Nabi SAW. menggunakan bahasa kiasan atau makna yang sebenarnya. Jadi, tidak memahami satu-satu hadis secara tekstual saja.

Sdr. Rifqi Muslim mengatakan bahwa sebelum menginjak pada wilayah transendental, hubungan kepada Allah (hablun minallah) lebih didahulukan hubungan sosial. Asumsi ini didasarkan pada sebuah riwayat yang diklaim sebagai hadis "Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bisa bermanfaat bagi manusia yang lain". Kata Rifqi Muslim, di sini, Nabi tidak menyatakan bahwa "manusia yang terbaik adalah mereka yang taat beribadah". Selanjutnya, ia mengatakan bahwa, sebelum menginjak pada wilayah ketuhanan, terlebih dahulu, perhatikan keadaan sekeliling kita yang sampai saat ini keberadaannya masih dipertanyakan. Ini sesuai dengan hadis yang menyatakan bahwa "Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya".

Menurut hemat kami, ada beberapa kekeliruan dalam memahami teks-teks agama yang dilakukan oleh Sdr. Rifqi Muslim, khususnya hadis-hadis tersebut. Di antaranya, teks yang diklaim sebagai hadis Nabi dan dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. "Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya" Teks ini sebenarnya bukan hadis Nabi SAW. melainkan hanyalah ucapan seseorang yang bernama Yahya ibn Mu`adz ar-Razî. Pernyataan seseorang lalu diklaim sebagai hadis, itulah yang disebut hadis palsu. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Al-`Ajlûnî dalam Kasyf al-Khafâ' menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah (728 H/1328 M) menilai hadis ini sebagai hadis palsu. An-Nawawi (676 H/1277 M) menyebutnya sebagai laisa bi tsabit (tidak mengakuinya sebagai hadis). Al-Albanî menilai sebagai bukan hadis, tidak ada dasar dan sumbernya (lâ ashla lahû). Membuat dan menyebarkan hadis palsu sangat dilarang, sebab dapat merusak kemurnian ajaran Islam. Imam Bukhari meriwayatkan dari sahabat Salamah ibn `Amr, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa yang mengatakan sesuatu atas namaku padahal aku sendiri tidak mengatakannya, maka siap-siaplah menempati posisinya dalam neraka."

Lalu pemahaman dan kesimpulan Rifqi Muslim bahwa sebelum menginjak pada wilayah ketuhanan, terlebih dahulu, perhatikan hubungan sosial. Bahkan katanya, nabi tidak menyatakan bahwa "manusia yang terbaik adalah mereka yang taat beribadah. Pemahaman dan kesimpulan seperti ini keliru dan justru bertentangan dengan firman Allah "Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang pada hablun minallah dan hablun minannas". (QS. Ali 'Imran: 112). Ayat ini dengan sangat jelas dan tegas mendahulukan hablun minallah daripada hablun minannas. Dalam ayat lain Allah berfirman: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Al-Hujurat: 13). Bertakwa ialah menjalankan perintah Allah di antaranya dengan cara taat beribadah kepada Allah dan menjalankan kewajiban sosial kemanusiaan dengan bermoral serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Ada hadis yang diriwayatkan Bukhari, Nabi SAW. bersabda: "Sebaik-baik manusia di antara kalian adalah orang yang belajar al-Qur'an dan mengajarkannya. Ada seseorang bertanya kepada Nabi SAW. Amal apa yang harus aku lakukan sehingga aku masuk surga? Beliau menjawab: Beribadahlah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, dirikan shalat fardhu, tunaikan zakat wajib, dan puasa pada bulan Ramadhan, (HR. Bukhari). Ada juga yang bertanya kepada Nabi SAW. Amal apa yang paling utama? Beliau menjawab: "Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, (HR. Bukhari). Ada lagi yang bertanya, amal apa yang paling utama? Beliau menjawab: "Shalat pada waktunya", (HR. Bukhari). Ada lagi bertanya amal apa yang terbaik dalam Islam? Beliau menjawab: "Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang lain, (HR. Bukhari). Masih banyak lagi teks hadis-hadis seperti ini yang menunjukkan keutamaan amal tertentu. Nabi SAW. menyebutkan keutamaan dan kemuliaan pada suatu amal tertentu sesuai dengan konteks siapa yang bertanya, kapan dan dimana. Oleh karena itu, membaca hanya satu hadis langsung berkesimpulan tanpa memperhatikan konteksnya dan perbandingan hadis-hadis lainnya, bisa keliru dalam pemahaman dan kesimpulan.

Dalam konteks pemahaman mengenai hikmah dari peristiwa Isra' Mi'raj Nabi SAW. adalah diwajibkannya shalat. Persoalannya sekarang ialah bagaimana meningkatkan kualitas shalat sehingga mampu membangun kesadaran akan kesalehan ritual, sosial, dan moral? Bagaimana menerjemahkan makna dan nilai shalat dalam bentuk gerakan dan ucapan rutinitas itu ke dalam realitas sosial kemanusiaan yang bermoral. Di antaranya dengan memahami makna ucapan dan gerakan dalam shalat itu. Misalnya dalam shalat, dua hal pokok yang merupakan kuncinya, yaitu pembukaan dan penutupnya.

Pada pembukaan shalat diawali dengan Takbir al-Ihram (Allahu Akbar). Makna simboliknya adalah sebagai ikrar dan pengakuan terhadap syahadat pertama, yakni tauhid, mengakui keesaan dan kebesaran Allah sebagai tempat bertolak dan hanya kepadaNya kita kembali menghadap dan menyerahkan segalanya. Dan yang kedua, pada penutupan shalat melalui bahasa as-Salam, yaitu dengan mengucapkan “Assalamu‘alaikum Wa Rahmatullah”. Mengucapkan as-Salam ini sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, mengandung arti simbolik bahwa kita seolah-olah berikrar dan berjanji di hadapan Allah bahwa kita bersedia dan selalu berbuat sesuatu yang membuat keselamatan, kedamaian, dan ketentraman terhadap orang lain di sekeliling kita dan lingkungan tempat di mana kita berada. Pengakuan dan pembuktian seperti ini sebagai makna persaksian dalam syahadat kedua, yaitu meneladani Nabi Muhammad SAW. dalam realitas kehidupan sebagai Rahmatan lil alamin, kasih sayang bagi semesta alam. Dengan demikian, persoalannya bukan pada soal mendahulukan kesalehan sosial baru kemudian masuk wilayah ketuhanan dan kesalehan ritual. Jelasnya adalah tauhid kepada Allah sebagai basis fundamental harus membuahkan hasil berupa ibadah dan kesalehan sosial kemanusiaan bermoral. Wallahu A'lam bi ash-Shawwab.



¨ Dimuat di Pontianak Post, Senin, 5 Agustus 2008

¨ Dosen Tafsir dan Hadis Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.

1 komentar:

hamdan mengatakan...

subhanallah... mantap ustaz... sukses, sehat dan salam ...