Profil

Minggu, 16 Maret 2008

Artikel

KRITIK HADIS: Menuju Pendekatan Kontekstual [1]

Oleh: Wajidi Sayadi

Pendahuluan

Beberapa tahun yang lalu, kami pernah ikut serta dalam sebuah diskursus tentang hadis. Dalam diskursus itu, kami memaparkan bahwa koleksi hadis-hadis yang ada dan sampai ke tangan kita sekarang ini umumnya adalah diinformasikan oleh para periwayat yang umumnya hidup di tengah pergolakan politik yang sangat panas, yaitu di bawah dominasi kekuasaan Muawiyah. Sehingga dengan demikian, para periwayat tersebut diklaim sebagai periwayat yang menyampaikan hadis-hadis dibawah intervensi dan tekanan pemerintahan Muawiyah. Bahkan mereka dicap bersekongkol dengan pemerintahan Muawiyah. Dengan intervensi dan persekongkolan mereka inilah sehingga dari ribuan bahkan ratusan ribu periwayat hadis yang tercatat, hanya sekitar 20 orang lebih yang dikenal sebagai orang-orang pendukung dan pengikut Ali ibn Abu Thalib. Para pendukung Ali ibn Abu Thalib pada saat itu diposisikan sebagai lawan politik Muawiyah sehingga mereka selalu dicurigai dan diinterogasi, kondisi demikian membuat periwayatan mereka banyak ditolak walaupun sebetulnya mereka dikenal sebagai ulama yang banyak mengetahui hadis-hadis Nabi Saw. Demikian ungkapan kami dalam forum kajian hadis itu yang dikutip dan disimpulkan dari sebuah buku “Kajian Sejarah dan Hadis” yang ditulis oleh Murtadha Al-`Askari. Mendengar informasi ini, nara sumber itu mengatakan: “Sebelum saya menjawab tanggapan saudara, terlebih dahulu saya ingin bertanya: “Saudara ini, apa Sunni atau Syi`ah ?” Dengan spontan kami menjawab: “Saya adalah muslim, adapun Sunni dan Syi`ah merupakan istilah yang lahir akibat dari sebuah proses sejarah saja”.

Nara sumber tersebut berpendapat bahwa hadis dan para periwayatnya itu sudah diseleksi dengan sangat ketat oleh ulama yang kredibilitasnya sangat tidak diragukan, apalagi kalau diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Kami tidak menafikan pendapat tersebut, bahkan diakui bahwa pandangan seperti inilah yang banyak dipegang oleh ulama hingga sekarang ini. Hanya saja ini bukan berarti bahwa pintu dan peluang kritik hadis adalah ditutup sama sekali. Terlepas dari apa yang dikemukakan Murtadha Al-`Askari di atas, menurut hemat kami, bahwa proses periwayatan hadis banyak dilakukan secara makna, dan dalam proses perjalanannya telah terjadi banyak pemalsuan, dan penghimpunannya pun ditulis ke dalam banyak kitab telah memakan waktu yang cukup lama dan menggunakan metode penyusunan yang beragam. Kondisi demikian, mendorong adanya penelitian dan kritik hadis tetap terbuka dan diperlukan.

Ketika diskursus tentang kritik hadis ini dimunculkan ke permukaan, maka teringat kembali pada sederetan nama tokoh dan ilmuan seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Juynboll, Fatima Mernissi, Ahmad Amin, Mahmud Abu Rayyah, Muhammad al-Ghazali, dan Djalaluddin Rakhmat (lebih akrab dipanggil Kang Djalal) dengan pendekatan historisnya. Mereka ini dalam kajiannya tentang hadis banyak melontarkan kritik terhadap hadis, yang melahirkan sikap pro dan kontra di kalangan peminat studi hadis, ulama, dan umat Islam pada umumnya.

Makna Kritik Hadis

Terminologi kritik dalam konteks ke-Indonesiaan khususnya dalam wacana sosial, politik, dan budaya, belum tentu identik dengan term kritik dalam wacana ilmu hadis. Dalam konteks ke-Indonesiaan terminologi kritik biasa diasumsikan dan diidentikkan dengan tanggapan atau kecaman yang melahirkan image negatif, yakni kecaman terhadap sesuatu karena adanya penyelewengan atau penyimpangan, misalnya pimpinan suatu lembaga atau instansi dikritik karena dinilai telah menyelewengkan dan menyalahgunakan keuangan dan fasilitas lembaga untuk kepentingan pribadi, pemerintah dikritik karena peraturan dan langkah kebijakan yang ditempuh tidak akomodatif dan tidak aspiratif, tidak mencerminkan keadilan dan pembelaan kerakyatan, tapi justru semakin membuat rakyat melarat. Terminologi kritik dalam konteks seperti ini, tentu tidaklah identik dengan terminologi kritik dalam wacana ilmu hadis.

Kritik hadis sama sekali tidak bermaksud membangun dan mengembangkan tasykik, sikap skeptis terhadap hadis. Dalam wacana ilmu hadis yang dikritisi adalah sampai sejauhmana kebenaran berita itu berasal dari Nabi Saw. dan bagaimana kualitas pribadi dan kapasitas intelektual penerima dan penyampai berita itu apakah mereka tergolong dalam kategori tsiqah (adil dan dhabit) atau justru cacat. Terminologi kritik dalam wacana ilmu hadis dimaksudkan adalah suatu ilmu yang membahas dan berusaha menetapkan adanya ke-tsiqah-an dan kecacatan pada diri pribadi periwayat sehingga dengan demikian dapat dipisahkan antara hadis sahih dan dhaif.[2] Kritik hadis terdiri atas dua macam; yaitu kritik sanad atau kritik ekstrinsik (al-naqd al-kharij), dan kritik matan atau kritik intrinsik (al-naqd al-dakhil).[3] Dalam kritik sanad, yang menjadi obyek kritikan adalah pribadi para periwayat yang terlibat langsung dalam periwayatan hadis yang bersangkutan. Adapun segi-segi pribadi periwayat yang dikritik adalah kualitas, dalam hal ini ke-adil-annya, dan kapasitas intelektualnya, yakni ke-dhabit-annya. Mengeritik para periwayat yang terdapat dalam rangkaian sanad kita berpedoman pada standar informasi dan keterangan yang telah disampaikan oleh para ulama kritikus hadis. Merekalah yang dapat dipertimbangkan kritikannya untuk menetapkan kualitas periwayat hadis. Biografi para periwayat disertai kritikan dan penilaian oleh kritikus hadis terhadap mereka dapat diketahui melalui buku-buku rijal al-hadis, seperti al-Jarh wa al-Ta`dil karya Ibnu Abi Hatim al-Raziy (328 H), Tahdzib al-Tahdzib karya Al-`Asqalaniy (852 H/1449 M), Mizan al-I`tidal Fi Naqd al-Rijal karya Al-Dzahabiy (748 H/1348 M), Tahdzib al-Kamal karya al-Mizziy (742 H/1342 M), dan kitab-kitab raijal lainnya.

Di antara kriteria kesahihan suatu hadis khususnya pada matan ialah bebas dari adanya syadz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (kecacatan). Matan suatu hadis dipandang syadz dan illat, jika bertentangan dengan landasan dan acuan yang digunakan dalam kritik matan. Menurut al-Idlibiy ada 4 patokan dasar sebagai acuan dalam upaya menkritisi matan hadis, yaitu: 1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an, 2) Tidak bertentangan dengan hadis dan sejarah kehidupan Nabi Saw., 3) Tidak bertentangan dengan akal sehat dan sejarah, dan 4) Susunan redaksinya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.[4] Al-Khatib al-Baghdadiy dalam bukunya Al-Kifayah fi `Ilm al-Riwayah menetapkan 6 acuan dasar, namun keempat poin di atas yang dikemukakan Al-Idlibiy sudah dapat dipandang cukup dan memadai sebagai standar kritikan. Suatu hal yang cukup menarik dalam kritik matan ialah menjadikan fakta sejarah sebagai dasar dan acuan dalam mengeritik hadis. Cara seperti ini biasa dilakukan oleh kalangan orientalis seperti Goldziher, dan juga biasa dilakukan Jalaluddin Rakhmat dalam mengeritik hadis. Namun perlu juga dicatat bahwa sejarah itu perlu juga dikritik, bahkan justru ilmu kritik hadis yang digunakan dalam mengeritik sejarah itu seperti yang dilakukan oleh Prof. Dr. Akram Dhiyauddin Umari, dalam bukunya Madina Society at the Time of Prophet: Its Characteristics and Organization” yang diterjemahkan oleh Mun`im A. Sirry dengan judul: Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi.

Kritik Hadis: Kemunculan dan Perkembangannya

Semua ulama kritikus hadis telah sepakat bahwa kritik hadis itu sebetulnya sudah ada dan dimulai sejak masa Nabi Saw. dan para sahabat. Hanya saja model dan langkah operasionalnya masih sangat sederhana, yaitu hanya berupa proses konfirmasi dengan tujuan agar umat Islam merasa tenang dan tentram atas kebenaran informasi itu dari Nabi Saw. Umar ibn Khattab setelah mendengar berita bahwa Nabi Saw. telah menceraikan isteri-isterinya, ia datang kepada Nabi Saw. untuk konfirmasi dan mengecek apa benar Nabi Saw. menceraikan isteri-isterinya. Ternyata kemudian Nabi Saw. menjawab bahwa itu tidak benar. Aisyah umm al-mu’minin juga pernah mengeritik hadis yang diriwayatkan oleh Umar ibn Khattab, yaitu انّ الميت يُعذّب ببكاءاهله عليه (Sesungguhnya mayat itu disiksa karena tangisan keluarganya kepadanya). Aisyah mengeritik hadis tersebut, karena menurutnya, bahwa hadis tersebut bertentangan dengan ayat.ولاتزر وازرة وِزر اخرى (Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain QS. Al-Isra’:15; Al-An`am:164).

Demikian pula dalam perkembangannya kemudian, dengan tersedianya kitab-kitab pedoman yang digunakan dalam kritik sanad seperti dikemukakan di atas membuat agak lebih mudah kritik sanad dari pada kritik matan. Oleh karena itulah, karya-karya tentang kajian penelitian hadis yang bermunculan baik dari kalangan dunia akademik berupa tesis dan disertasi maupun non-akademik lebih banyak dan dominan pada kritik sanad. Namun perkembangan mutakhir kemudian menunjukkan bahwa studi kritik matan hadis sudah banyak dirambah dan digarap dan ini sudah berkembang. Hal ini dapat dilihat dengan terbitnya sejumlah buku yang muatannya tentang kritik hadis, misalnya Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah oleh Al-Daminiy, Manhaj Naqd al-Matn oleh Shalahuddin al-Idlibiy, Manhaj al-Naqd `Ind al-Muhadditsin oleh Muhammad Mushthafa A`zhami, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqd Matn al-Hadits al-Nabawiy oleh Muhammad Thahir al-Jawabiy, dan Al-Sunnah Bayn Ahl al-Ra’y wa Ahl al-Hadits oleh Muhammad Al-Ghazaliy, dan lain-lain.

Menuju Pendekatan Kontekstual

Semua ulama dan pakar dari latar belakang dan golongan apa pun telah konsensus bahwa hadis atau sunnah merupakan sumber hukum dan ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Namun suatu hal yang juga tak dapat dinafikan bahwa Nabi Saw. adalah manusia biasa dan bukan malaikat. Risalah yang dibawanya tidaklah menghapus sifat kemanusiaannya, sehingga tidak tertutup kemungkinan sebagian sabda atau perbuatan beliau hanya semata-mata didorong oleh kapasitas pribadi dan karakter kemanusiaannya sehingga beliau bisa saja marah, senang, gembira, dan sifat-sifat lainnya. Ada hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari Ummu Sulaim (ibunya Anas ibn Malik), Rasulullah Saw. bersabda:

إنما أنا بشر أرضى كما يرضى البشر وأغضب كما يغضب البشر

“Bahwa aku adalah manusia biasa, dapat merasa senag seperti manusia biasa lainnya, dan dapat pula marah seperti manusia biasa juga”. (HR. Muslim dari Ummu Sulaim).

Muslim dan Ahmad meriwayatkan yang bersumber dari Ibnu Abbas, Nabi Saw. bersabda tewntang Mu`awiyah: “ لاأشبع الله بطنه (Semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya, maksudnya perut Mu`awiyah). Lebih jauh Ibnu Abbas menerangkan bahwa, aku sedang bermain dengan anak-anak, lalu Rasulullah Saw. datang, maka aku bersembunyi di balik pintu. Kemudian beliau menepuk pundakku dengan keras dan bersabda, إذهب وادع لى معاوية (panggillah kemari Mu`awiyah)! Lalu aku mendatangi Mu`awiyah, sesudah itu aku kembali kepada Rasulullah Saw. menyampaikan bahwa Mu`awiyah masih sedang makan. Beliau kembali bersabda, إذهب وادع لى معاوية (panggillah kemari Mu`awiyah !). Aku segera mendatangi Mu`awiyah dan kemudian aku kembali kepada Rasulullah Saw. melapor bahwa Mu`awiyah masih sedang makan. (Mendengar laporan itu) beliau bersabda لاأشبع الله بطنه (semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya). Dalam hadis Shahih Bukhari diriwayatkan yang bersumber dari Jabir ibn Abdullah, bahwa ayah kandung Jabir yaitu Abdullah ibn `Amru ibn Haram meninggal dunia, dan ia mempunyai hutang. Kemudian Jabir berbicara kepada Rasulullah Saw. agar meminta kepada orang-orang yang menghutangi ayahnya agar membebaskannya dari hutang-hutangnya itu. Rasulullah Saw. kemudian meminta kepada mereka untuk menuruti keinginan Jabir tersebut, namun ternyata mereka menolak ajakan Rasul untuk membebaskan hutang-hutang ayah Jabir itu.

Mengenai hadis dan ucapan Nabi Saw. seperti ini diinterpretasikan oleh banyak ulama dengan bervariasi. Di antaranya oleh Syekh Nashiruddin al-Albani, bahwa hal itu mungkin terjadi karena didorong oleh sifat kemanusiaan beliau.[5] Oleh karena itu, memahami suatu teks hadis memerlukan kecermatan dan ketelitian serta memperhatikan dan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang terjadi pada diri dan lingkungan yang melingkupi kehidupan Nabi Saw. Boleh jadi hadis yang dilihat hanya sebatas tekstual justru memperkecil wilayah arti dan makna hadis itu sendiri sehingga melahirkan kesimpulan yang keliru dengan mengatakan bahwa hadis itu tidak aktual dan tidak relevan dengan kondisi perkembangan kemajuan. Berpatokan kepada hadis secara tekstual semata boleh jadi akan melahirkan sikap pemaksaan realitas sosial tunduk kepada teks, yang walaupun sesungguhnya hal itu dapat dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hidup yang dikedepannkan oleh al-Qur’an sendiri. Maka solusi alternatif yang patut dikembangkan adalah dengan pendekatan kontekstual di mana aspek kesejarahan yang melingkupi dan melatarbelakangi serta menjadi tujuan disabdakannya hadis itu harus menjadi perhatian. Nabi Saw. diutus oleh Allah dan hidup di tengah masyarakat yang sudah mempunyai budaya dan peradaban. Artinya, bahwa ketika Nabi Saw. bersabda atau melakukan suatu tindakan bisa saja tidak terlepas dari situasi dan kondisi yang melingkupi masyarakat pada waktu itu, termasuk suasana politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Sehingga dengan demikian ada saja perbuatan atau sabda Nabi Saw. muncul secara spontanitas dan dorongan pribadi dan sebagai respon atas situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu seperti hadis yang diriwayatkan dari Ummu Sulaim dan Jabir ibn Abdullah di atas. Oleh karena itulah, maka memahami hadis Nabi Saw. tidaklah cukup hanya melihat semata pada tekstualnya saja, tapi seharusnya diperhatikan kontekstualnya. mempertimbangkan konteks situasi dan kondisi dimana Nabi Saw. bersabda dan bertindak, adalah sesuatu yang dipandang sangat relevan untuk melihat dan bijaksana.

Contoh hadis.

Pemimpin dari Quraisy.

الأئمّة من قريش انّ لهم عليكم حقا ولكم عليهم حقا مثل ذلك. ماان استرحموا فرحموا وان عاهدوا وفوا وان حكموا عدلوا فمن لم يفعل ذلك منهم فعليه لعنة الله والملائكة والناس اجمعين. (رواه احمد عن انس بن مالك وابن برزة)

“Pemimpin itu dari etnis Quraisy. Sesungguhnya mereka mempunyai hak atas kamu sekalian dan kamu sekalian mempunyai hak atas mereka. Pada beberapa hal mereka dituntut untuk bersikap sayang, maka mereka bersikap sayang. Dan kalau mereka menjadi hakim maka mereka berlaku adil. Kalau mereka berjanji, mereka tepati. Kalau ada dari kalangan mereka yang tidak beralku demikian, maka orang itu akan memperoleh kekuatan dari Allah, para Malaikat, dan semua manusia.” (HR. Ahmad dan Malik dari Anas ibn Malik dan Ibn Barzah).[6]

Hadis riwayat Ahmad ibn Hambal yang jalur sanadnya melalui dari Ibn Barzah adalah Sahih. Sedangkan yang melalui jalur dari Anas ibn Malik adalah dhaif, karena pada jalur itu sanadnya terdapat periwayat yang bernama Bukair ibn Wahab al-Juzri yang dinilai oleh ulama kritikus hadis seperti al-Dzahabi sebagai dhaif dan tidak dikenal sebagai periwayat hadits.[7]

Selintas melihat hadis tersebut secara tekstual sangat kental mengesankan adanya primordial, dimana hak kepemimpinan ditentukan oleh standar etnisitas dan keturunan, dan bukan pada kualitas dan kemampuan serta prestasi kerja. Pemahaman seperti ini dapat dipandang tidak mencerminkan prinsip dan ajaran Islam yang sangat menekankan pada kualitas dan kemampuan.

Lalu bagaimana di wilayah atau negara yang tidak ada penduduknya yang berasal dari keturunan etnis Quraisy, seperti Indonesia ? Bukankah doktrin Islam telah meletakkan dasar asas persamaan di antara sesama umat manusia, sekaligus menolak diskriminasi dan pengistimewaan dengan argumen kekerabatan, kedaerahan, etnis, kaum, kelas, dan lain-lain. Islam menghargai hal pengistimewaan atas dasar kualitas dan hasil prestasi kerja.

Di sinilah perlunya pendekatan kontekstual dengan mempertimbangkan aspek sosio-historis yang melingkupinya dan tujuan disabdakannya hadis itu.

Dalam realitas kehidupan sosial politik, dan budaya bangsa Arab baik masa Pra Islam maupun Pasca-Islam, etnis Quraisy menempati pada posisi dan strata yang tinggi dan terhormat, dilihat dari aspek eksistensi religiusitasnya yang berkaitan dengan Hanafiyyah, agama Nabi Ibrahim as. Etnis Quraisylah yang melaksanakan pengabdian atau pelayanan servis terhadap Ka’bah. Demikian juga aset dan posisi ekonomi perdagangan dipegang dan dimainkan oleh etnis Quraisy. Yang pertama kali menyambut dan masuk Islam serta menjadi pahlawan-pahlawan dalam mendakwahkan syiar Islam adalah orang-orang dari etnis Quraisy.[8] (Al-Mubarak, 1995:80). Djalaluddin Rakhmat mengutip pandangan Nicholson, Goldziher, dan Jafri tentang teori sosio-antropologis bangsa Arab yang berpijak pada dua asumsi: (1) Bangsa Arab adalah bangsa yang terorganisasi atas dasar kesukuan (etnisitas); kesetiaan pada suku dan ketergantungan kehormatan pada sukunya menjadi sangat penting; (2) Bangsa Arab yang membentuk umat Islam permulaan terdiri dari dua subkultur–subkultur Arab Selatan dan subkultur Arab Tengah Utara.[9] Suku Arab Selatan adalah suku Arab yang memiliki sensitivitas religius yang tinggi, artinya mereka lebih menunjukkan pada perasaan syukur dan penyerahan diri pada Tuhan. Berbeda dengan suku-suku di Arab Utara lebih memuja keberanian dan kepahlawanan. Pada suku-suku Arab Utara, pemimpin umumnya dipilih berdasarkan usia atau senioritas. Sedangkan suku-suku Arab Selatan pemimpin dipilih berdasarkan kesucian keturunan. Bagi bangsa Arab, khususnya Arab Selatan, pengurusan rumah suci dan kehormatan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, sejak zaman jahiliyah orang Arab tidak mengenal pemisahan antara kepemimpinan temporal dan kepemimpinan sakral. Ka’bah adalah rumah suci yang dihormati semua kabilah Arab. Kabilah yang mendapat tugas secara turun temurun memelihara Ka’bah dan tugas kepemimpinan Arab dipegang oleh keturunan dari suku Quraisy.

Dengan demikian, orang-orang yang berasal dari etnis Quraisy diangkat menjadi pemimpin sebagaimana dalam hadis di atas, adalah sangat beralasan, karena prestasi mereka yang didukung oleh adanya kewibawaan, kemampuan, dan pengalaman serta hasil prestasi kerja mereka. Artinya, Orang-orang Quraisylah saat itu yang merupakan etnis Arab yang paling kuat, tangguh dan terkemuka yang mempunyai solidaritas kelompok yang kokoh dan membuatnya paling berwibawa untuk memelihara keutuhan dan persatuan umat Islam. Jadi, persoalannya di sini bukan pada etnis Quraisynya itu, akan tetapi, lebih pada persoalan kemampuannya. Oleh karena itu, kapan dan dimanapun, mereka yang mempunyai kewibawaan, dan kemampuan, maka itulah yang pantas dan layak dipilih menduduki jabatan kepala atau pemimpin walaupun bukan berasal dari keturunan etnis Quraisy. Pandangan seperti ini didukung oleh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Anas ibn Malik yang intinya bahwa hak kepemimpinan itu tidak hanya bagi orang-orang Quraisy, tapi orang-orang hamba sahaya pun boleh menjadi pemimpin selama mereka mampu, bahkan Nabi Saw. sendiri justru memerintahkan supaya taat dan mendengarkan apa yang diperintahkan oleh pemimpin yang berasal dari hamba sahaya dari Habsyi. Hadis yang dimaksud ialah:

إسمعوا وأطيعواوان استُعْمِلَ عليكم عبْدٌ حَبَشِيٌّ كأنّه رأسَه زبيبة.

Dengarlah dan taatilah kamu sekalian walaupunpejabat yang saya angkat untuk mengurus kepentngan kamu sekalian adalah hamba sahaya dari Habsyi yang (rambut) di kepalanya menyerupai gandum”. (HR.Bukhari , Muslim, dan lain-lain yang bersumber dari Anas ibn Malik).

Hadis kedua. Perempuan tak boleh menjadi pemimpin.

لن يُفلح قوم ولّوا أمْرهم امرأةً (رواه البخارىوالترمذىوالنسائ عن أبى بكرة)

Tidak akan suskses suatu kaum (masyarakat, bangsa) yang menyerahkan (untuk memimpin urusan mereka kepada perempuan”. (HR.Bukhari, Turmidzi, dan Al-Nasai dari Abi Bakrah).

Hadis ini sangat populer dan menjadi bahan perdebatan publik terutama ketika Megawati Soekarnaputeri dicalonkan menjadi presiden RI, karena muatan hadis ini memang persoalan politik Bahkan terkesan hadis ini dijadikan senjata ampuh oleh kelompok yang tidak senang terhadap perempuan diangkat menjadi presiden, termasuk yang tidak senang pada Megawati sendiri. Apakah dengan cara seperti ini berarti menggunakan hadis sebagai dalil agama untuk menjustifikasi kepentingan politik tertentu, atau tidak. Terlepas dari hal ini, yang jelas bahwa hadis tersebut jika dilihat dan dipahami secara tekstual, maka perempuan memang tidak layak untuk diangkat menjadi presiden. Pemahaman seperti ini banyak dilakukan oleh ulama, bahkan mungkin masih jumhur (mayoritas) ulama berpendapat demikian. Menurut hemat kami, bahwa dengan pemahaman cara seperti ini akan memunculkan kesan yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak menghargai peran dan eskistensi hak politik bagi mereka untuk memimpin. Kondisi dan kemampuan yang dimiliki perempuan terutama di era modern, tentu sudah tidak sama lagi dengan zaman dahulu. Sekarang mereka mengalami kemajuan sebagaimana halnya laki-laki berkat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kemajuan dalam bidang politik. Perubahan situasi dan kondisi serta realitas sosial dimana mereka hidup dan beraktifitas, dikaitkan dengan hadis di atas, maka pendekatan kontekstual merupakan tawaran yang relevan. Pendekatan kontekstual ini adalah dengan memperhatikan pada latar belakang sosio-historis lahirnya hadis tersebut dan realitas sosial masyarakat pada saat itu sehingga gambaran mengenai tujuan disabdakannya hadis itu dapat tertangkap.

Hadis tersebut disabdakan Nabi Saw. ketika mendengar laporan dari sahabat yang menceritakan tentang pengangkatan seorang perempuan menjadi ratu di Persia, yang bernama Buwaran ibnti Syairawaih ibn Kisra ibn Barwaiz. Pada saat itu sudah mentradisi bahwa pemimpin atau kepala negara itu adalah seorang laki-laki. Buwaran diangkat menjadi ratu (kisra) di Persia menggantikan ayahnya, setelah terjadi pergolakan berdarah dalam rangka suksesi memperebutkan kekuasaan, dimana saudara laki-lakinya turut tewas dalam pergolakan itu. Pengangkatan seorang perempuan menjadi pemimpin ini menyalahi tradisi yang sudah berlaku pada saat itu.[10]

Sejarah telah mencatat bahwa perempuan di mata masyarakat pada saat itu adalah makhluk yang kurang dihargai bahkan boleh dikatakan tidak berharga sama sekali. Dengan dasar kepercayaan seperti ini, maka hanya laki-lakilah yang dipandang mampu mengurus kepentingan masyarakat luas dan masalah negara. Sementara perempuan tetap tidak dipercaya sama sekali untuk ikut mengurus kepentingan masyarakat dan lebih-labih lagi masalah negara. Dalam situasi dan kondisi seperti inilah, Nabi Saw. menyatakan bahwa menyerahkan urusan kemasyarakatan atau kenegaraan kepada perempuan tidak akan sukses, sebab bagaimana mungkin bisa sukses, kalau orang yang memimpin itu adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang ideal bagi seorang pemimpin adalah ia mempunyai kharisma atau kewibawaan, sementara perempuan pada saat itu sama sekali tidak mempunyai kharisma atau kewibawaan untuk menjadi pemimpin masyarakat.[11] Oleh karena itu, dengan perubahan situasi dan kondisi, dimana masyarakat sudah menghargai, menerima, dan memposisikan perempuan itu sebagaimana halnya dengan laki-laki, dan perempuan itu sendiri juga sudah mempunyai kewibawaan dan kemampuan memimpin, maka mengangkat mereka untuk menjadi pemimpin adalah boleh-boleh saja. Jadi, hadis di atas persoalan intiinya bukan pada persoalan keperempuanannya, akan tetapi lebih pada persoalan kemampuan memimpin. Oleh karena itu, laki-laki pun juga tidak akan sukses dalam memimpin suatu masyarakat atau negara, kalau tidak mempunyai wibawa dan kemampuan kepemimpinan yang memadai. Wa Allahu A`lam bi al-Shawwab

Daftar Pustaka

A`zhami, Muhammad Mushthafa, Manhaj al-Naqd `Ind al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa Tarikhuhu, (Riyadh: Syirkah al-Thiba`ah al-`Arabiyah al-Su`udiyah al-Mahdudah, 1402 H/1982 M), Cet. II, h. 5.

Al-Dzahabi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad, Mizan al-I`tidal Fi Naqd al-Rijal, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1382 H/1963), Juz I hal. 351.

Al-Husainiy, Al-Bayan Wa al-Ta`rif Fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif (Kairo: Dar al-Turats, t.th.), h. 82-84.

Ibnu Hambal, Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hambal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III h. 129 dan 183; dan Juz IV h. 422.

Al-Idlibi, Shalahuddin ibn Ahmad, Manhaj Naqd al-Matn `Ind al-`Ulama’ al-Hadits al-Nabawiy, (Beirut: Mansyurat Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H/1983 M), Cet. I, h. 31.

Ismail, M.Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Ibntang, 1994), Cet.I, h. 66.

Al-Jawabi, Muhammad Thahir, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqd Matn al-Hadits (Tunis: Muassasat Abd al-Karim ibn Abdullah, t.th.), h. 94.

Al-Mubarak, Muhammad, Nizham al-Islam al-Hukm wa al-Daulah Diterjemahkan oleh Firman Harianto, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), hal. 80.

Rakhmat, Djalaluddin, “Skisma Dalam Islam Sebuah Telaah Ulang” dalam Budhy Munawar Rachman (Editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), Cet. I hal. 698.



[1] Sudah dimuat dalam Khatulistiwa Journal Islamic Studies STAIN Pontianak

[2] Muhammad Mushthafa A`zhamiy, Manhaj al-Naqd `Ind al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa Tarikhuhu, (Riyadh: Syirkah al-Thiba`ah al-`Arabiyah al-Su`udiyah al-Mahdudah, 1402 H/1982 M), Cet. II, h. 5. Definisi yang lebih komprehensif tentang kritik hadis dapat dilihat dalam Muhammad Thahir al-Jawabiy, Juhud al-Muhadditsin Fi Naqd Matn al-Hadits (Tunis: Muassasat Abd al-Karim ibn Abdullah, t.th.), h. 94.

[3] Shalahuddin ibn Ahmad al-Idlibiy, Manhaj Naqd al-Matn `Ind al-`Ulama’ al-Hadits al-Nabawiy, (Beirut: Mansyurat Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H/1983 M), Cet. I, h. 31.

[4] Al-Idlibiy, op. cit., h. 238.

[5] Sabda dan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Saw. adakalanya dalam kapasitasnya sebagai Rasul, pribadi, manusia biasa sebagai orang Arab, pemimpin politik, hakim, panglima perang,. Konsekwensi dari pengklasifikasian seperti ini melahirkan adanya sunnah yang berdimensi syariat dan sunnah yang tidak berdimensi syariat, dan ini masih diperdebatkan di kalangan ulama. Al-Qardhawi membahas hal ini cukup panjang dalam bukunya Al-Sunnah Mashdaran Li al-Ma`rifah wa al-Hadharah Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattanie, Sunnah Rasul Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, hal. 33-141.

[6] Musnad al-Imam Ahmad ibn Hambal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III h. 129 dan 183; dan Juz IV h. 422.

[7] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Dzahabi, Mizan al-I`tidal Fi Naqd al-Rijal, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1382 H/1963), Juz I hal. 351.

[8] Muhammad Al-Mubarak, Nizham al-Islam al-Hukm wa al-Daulah Diterjemahkan oleh Firman Harianto, Sistem pemerintahan Dalam Perspektif Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), hal. 80.

[9] Djalaluddin Rakhmat, “Skisma Dalam Islam Sebuah Telaah Ulang” dalam Budhy Munawar Rachman (Editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), Cet. I hal. 698.

[10] Selengkapnya dapat dilihat dalam Al-Husainiy, Al-Bayan Wa al-Ta`rif Fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif (Kairo: Dar al-Turats, t.th.), h. 82-84.

[11] M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Ibntang, 1994), Cet.I, h. 66.

Tidak ada komentar: