Profil

Minggu, 16 Maret 2008

Artikel

Menimbang Hadis-Hadis Tafsir dan Asbâb an-Nuzûl[1]

Dr. Wajidi Sayadi, M.Ag.[2]

Pada dasarnya para penelaah terhadap Tafsir yang diterbitkan Departemen Agama RI ini akan menyoroti dan mengkritisi baik sisi metodologisnya, bahasanya, terjemahannya, mufradat-nya, munasabah, maupun uraian dalam tafsirnya. Guna menghindari pembahasan yang berulang-ulang, maka kami menyorotinya lebih pada uraian penggunaan hadis dan riwayat asbâb an-nuzûl dalam penafsirannya.

Hanya Allah yang paling tahu dan mengerti apa yang dimaksud firman Allah dalam al-Qur'an karena Dia-lah yang punya kalam. Nabi SAW. yang paling dekat dan diberi otoritas oleh Allah dalam menafsirkan al-Qur'an, maka beliau merupakan orang kedua yang paling mengerti maksud firman Allah. Oleh karena itu, hadis Nabi SAW. dalam hubungannya dengan tafsir al-Qur'an adalah sebagai sumber kedua setelah al-Qur'an. Allah SWT. berfirman.

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. an-Nahl [16]: 44).

Bertolak dari posisi tersebut sebagai sumber tafsir, maka para ulama merumuskan posisi hadis dalam hubungannya dengan al-Qur'an sebagai berikut:

Pertama, bayân at-ta'kîd, yakni penjelasan yang menguatkan dan menggarisbawahi apa yang terdapat di dalam al-Qur'an. Misalnya hadis:

لا يحل مال امرئ إلا بطيب نفسه

"Tidak halal harta seseorang kecuali dengan cara yang baik dari dirinya." (HR. Dailami dari Anas). Hadis ini menjelaskan dan menguatkan ayat:

وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan cara yang batil. (QS. al-Baqarah [2]: 188).

Kedua, bayân at-tafsîr, yakni memperjelas dan merinci mengenai maksud ayat yang bersifat mujmal (global), membatasi pengertian yang mutlak dan mengkhususkan yang bersifat umum dari ayat-ayat al-Qur'an. Misalnya hadis yang menjelaskan tentang tata cara salat dan menunaikan zakat, serta puasa dan haji.

Ketiga, bayân taqrîr, maksudnya menetapkan hukum yang belum ditetapkan dalam al-Qur'an. Misalnya hadis yang melarang menikahi dengan cara memadukan seorang dan bibinya.

لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا

Tidak boleh menikahi seorang perempuan dan bibinya. (HR. Muslim dari Bukhari).[3]

Posisi hadis sebagai bayân ta'kîd dan bayân tafsîr tidak diperselisihkan para ulama. Sedangkan bayân taqrîr menetapkan hukum yang tidak ada dalam al-Qur'an masih diperdebatkan oleh para ulama, ada yang membolehkan ada juga yang tidak.[4]

Apakah Rasulullah SAW. menafsirkan semua ayat al-Qur'an atau tidak? Rasulullah SAW. tidak menafsirkan semua ayat al-Qur'an, tapi yang jelas ia banyak menafsirkan al-Qur'an. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya hadis tentang tafsir al-Qur'an dalam kitab-kitab hadis. Misalnya Bukhârî menulis dalam kitab Sahih-nya sebuah bab khusus mengenai tafsir al-Qur'an. Ibn Hajar al-`Asqalânî (852 H/1449 M) yang mengomentari Sahih Bukhari mengatakan, bahwa bab khusus tentang tafsir dalam Sahih Bukhari memuat 500 hadis. Sebagian riwayat tersebut juga diriwayatkan Muslim. Namun lebih banyak yang tidak diriwayatkannya, sebab status marfu`-nya tidak jelas. Umumnya riwayat tersebut adalah tafsiran Ibn Abbas yang berjumlah 66 riwayat. Sedang atsar (perkataan) sahabat dan generasi berikutnya berjumlah 580."[5]

Hadis-hadis tafsir tidak semuanya disebutkan dalam bab tafsir, tetapi banyak juga disebutkan dalam bab-bab lainnya, seperti pada bab Zuhd, Imân, Fadhâil, dan lain-lain. Dalam Sunan Tirmidzi juga terdapat bab khusus tafsir. Selain dalam Sahih Bukhari dan Sunan Tirmidzi tersebut, juga banyak hadis tafsir dalam kitab-kitab hadis lainnya. Dalam kitab-kitab tafsir khususnya yang bercorak riwayah lebih banyak lagi dijumpai hadis-hadis tafsir, seperi Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl Ây al-Qur’ân karya Ibn Jarîr ath-Thabarî (310 H/924 M), Bahr al-‘Ulûm karya as-Samaraqandî (375 H/988 M), al-Kasyf wa al-Bayân karya an-Naisabûrî (427 H/1034 M), Ma`âlim at-Tanzîl karya al-Bagawî (436 H-516 H/1122 M), an-Nukat wa al-`Uyûn Tafsîr al-Mâwardî karya al-Mâwardî (464 H--550 H/1156 M), al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz karya Ibn `Athiyyah (546 H/1152 M), Tafsîr al-Qur`ân al `Azhîm karya Ibn Katsîr (774 H/1373 M), al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur'ân karya al-Qurthubî (671 H/1272 M), ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma'tsûr karya as-Suyûthî (911 H/1505 M), asy-Syaukâni (1250 H/1834 M), dan kitab-kitab tafsir lainnya.

Dengan demikian, Rasulullah SAW. banyak menafsirkan al-Qur'an, namun ia tidak menafsirkan semuanya. Dengan tidak ditafsirkan semuanya, hal ini memberi kesempatan kepada umatnya untuk melakukan ijtihad penafsiran al-Qur'an.[6]

Ayat-ayat al-Qur'an dan hadis Nabi SAW. tidak pernah dan tidak akan bertambah, sementara manusia dengan segala budaya dan problematikanya semakin lama semakin bertambah dan bertambah terus. Oleh karena itu untuk menjembatani jurang yang lebar dan masih menganga antara kebutuhan manusia dan al-Qur'an sebagai hudan, petunjuk, maka penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan penalaran atau ar-ra'yi merupakan suatu tuntutan dan keniscayaan. Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang ini hampir tidak ada yang murni bi al-ma'tsûr, sebagaimana juga tidak ada yang murni bi ar-ra'yi (penalaran akal). Menggunakan penalaran dengan didukung oleh riwayat atau menggunakan riwayat lalu diurakan dan dijelaskan dengan penalaran akal. Termasuk Tafsir yang diterbitkan Departemen Agama ini menggunakan metode kombinasi antara al-ma'tsur dan al-ma`qul.

Masalahnya adalah, apakah semua riwayat hadis dan asbâb an-nuzûl yang digunakan dalam penafsiran al-Qur'an itu semuanya sahih? Hadis-hadis tafsir tersebut, kualitasnya ada yang sahih, hasan, dan daif sebagaimana hadis-hadis Nabi SAW. lainnya.

Oleh karena itu, perlu menyikapinya secara selektif dan kritis, Demikian pula riwayat asbâb an-nuzûl. Termasuk Tafsir yang diterbitkan Departemen Agama RI yang tengah dibahas ini.

Lalu masalah berikutnya, apakah semua hadis tafsir dan asbâb an-nuzûl yang kualitasnya daif tidak dapat diterima atau harus ditolak? Hadis daif tidak semuanya harus ditolak, sebab hadis daif itu bermacam-macam jenis dan kualitasnya pun berbeda-beda, sehingga ada yang diterima dan ada pula yang ditolak. Dalam masalah hukum halal dan haram, para ulama sangat ketat tidak memperbolehkan hadis daif dijadikan dasar penetapan. Lebih-lebih dalam masalah aqidah dan tauhid. Berbeda dalam hal fadhilah (keutamaan) amal, nasehat-nasehat, kisah-kisah, mereka membolehkan dengan beberapa syarat. Mengenai hal ini, Ibn Hajar al-`Asqalânî (852 H/1449 M) menjelaskan bahwa tiga syarat harus dipenuhi untuk dapat mengamalkan dan berpegang pada hadis daif, yaitu:

1) Hadis daif yang tidak terlalu daif sehingga tidak bisa diamalkan hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta atau dituduh dusta atau orang yang banyak kesalahan.

2) Hadis daif itu berada di bawah suatu dalil yang umum sehingga tidak dapat diamalkan hadis daif yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.

3) Ketika hadis daif yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas kepastian keberadaannya untuk menghindari penyandaran kepada Nabi SAW. sesuatu yang ia tidak sabdakan.[7]

Menjadikan hadis-hadis tafsir dan asbâb an-nuzûl yang kualitasnya daif sebagai acuan dan pengamalan mengacu pada persyaratan di atas.

Misalnya asbâb an-nuzûl ayat 106 surat al-Baqarah:

مَا نَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

Diriwayatkan dari Ibn Abbas, katanya: “Wahyu turun kepada Nabi SAW. pada malam hari, kemudian ia lupa pada siang harinya, maka Allah menurunkan ayat tersebut.[8]

Riwayat ini tidak boleh dijadikan pegangan sebab kualitasnya daif. Salah seorang periwayat dalam sanadnya bernama Hajjaj ibn Tamim al-Jazari dinilai para ulama kritikus hadis sebagai periwayat daif. Demikian pula dilihat dari segi kandungannya. Nabi SAW. melupakan ayat seperti dikemukakan dalam riwayat itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal, bahkan mustahil terjadi pada diri Nabi SAW., sebab ia berpredikat ma`sum dalam menyampaikan tabligh. Hal ini didasarkan pada jaminan Allah sebagaimana firman-Nya.

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ

"Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (QS. al-Qiyâmah/75: 17).

Para muhaddis dan ushûliyyun menetapkan, bahwa di antara tanda kepalsuan hadis ialah jika bertentangan dengan dalil yang qath`i, baik secara akal maupun naql. Kalau dinyatakan bahwa Nabi SAW. lupa terhadap ayat-ayat berarti menafikan atau meniadakan ke-ma`sum-an Nabi SAW. yang telah disepakati.[9]

Misalnya hadis tafsir

عن جابر قال قدم على رسول الله صلى الله عليه وسلم قوم غزاة فقال: قدمتم خير مقدم قدمتم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر قيل وما الجهاد الأكبر ؟ قال : مجاهدة العبد هواه

Dari Jabir, ia berkata: "Telah datang kepada Rasulullah SAW. suatu kaum yang baru dari peperangan. Maka beliau bersabda: "Kamu datang dengan kedatangan yang baik, kamu telah datang dari jihad yang kecil dan akan memasuki jihad yang besar." Seseorang berkata, "Apakah jihad yang besar itu?" Rasulullah menjawab, "Perjuangan hamba melawan hawa nafsu." (HR. al-Khathib al-Bagdadi).[10]

Hadis tersebut menafsirkan ayat

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ

Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. (QS. Al-Hajj [22]: 77).

Hadis ini dinilai para ulama kritikus hadis sebagai daif. Dilihat dari segi kandungannya, sulit diterima, sebab jihad perang melawan orang-orang kafir dalam rangka menegakkan agama Allah adalah dipandang sebagai jihad terkecil. Jihad seperti ini adalah jihad yang sangat besar. Ibn Taimiah termasuk menolak hadis ini, sebab jihad melawan orang kafir dalam menegakkan agama Allah dipandang sebagai jihad terkecil, padahal ini termasuk jihad akbar. Ada hadis munkar yang popular " رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ اْلأصْغَرِ إلىَ الْجِهَادِ اْلأكْبَرِ " adalah bukan hadis Nabi SAW., melainkan ucapan Ibrahim ibn `Ayalah (w. 152 H).

Asbâb an-nuzûl ayat 8 surat al-Mumtahanah (S. 60).

لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ

Diriwayatkan dari Hasan dan Abû Shâlih, katanya bahwa ayat tersebut turun mengenai Khuza`ah, Bani al-Harts ibn Ka`ab, Kinanah, Muzinah, dan beberapa suku dari Arab. Mereka mengadakan perjanjian damai dengan Rasulullah SAW. untuk tidak saling menyerang dan membunuh.[11]

Riwayat ini adalah mursal tabiin, sebab berasal dari tabiin tidak sampai pada sahabat. Riwayat ini tidak boleh dijadikan pegangan sebab bertentangan dengan riwayat lainnya yang kualitasnya sahih. Riwayat yang sahih adalah riwayat Bukhari dari Asma' binti Abu Bakar, katanya:

Pada masa Nabi SAW. ibuku mendatangiku dengan membawa hadiah. Lalu aku bertanya kepada Nabi SAW. apakah aku melayaninya (berbuat baik kepadanya)? Beliau menjawab: "Ya". Maka Allah menurunkan ayat ini.[12]

Contoh lain lagi adalah:

لما ألقي إبراهيم في النار قال : اللهم إنك في السماء واحد وأنا في الأرض واحد أعبدك

Setelah Ibrahim dilemparkan (mereka) ke dalam api itu, maka ia berdoa: "Ya Allah, Engkau di langit hanya sendiri, dan aku pun di bumi hanya sendiri menyembahmu." (HR. Abu Ya`la).

Hadis yang tertulis ini ada dalam Majma` az-Zawaid (VIII: 370) yang diriwayatkan al-Bazzar. Salah seorang periwayat dalam sanadnya bernama `Ashim ibn `Umar ibn Hafash dinilai daif oleh jumhur ulama. Kata al-Albani hadis tersebut daif (al-Jami` ash-Shaghir wa Ziyadatuhu I/1024).

Adapun hadis tafsir yang kualitasnya sahuh ketika nabi Ibrahim dilemparkan dalam neraka, ia membaca: " حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ" (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas). Hadis No. 4563.

Adapun hadis tafsir yang menjelaskan dan membatasi suatu kandungan ayat mengenai ketetapan hukum. Misalnya ayat 115 surat al-Baqarah.

وَللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Kandungan ayat ini bersifat umum sehingga salat dengan menghadap ke arah mana saja hukumnya boleh. Penjelasan dan pembatasan keumumannya bahwa ayat ini ditujukan pada kondisi tertentu, misalnya karena tengah dalam keadaan musafir, tidak boleh dengan hadis daif, tapi harus dengan hadis sahih. [13]

Selain persoalan kualitas dan kebenaran sumber dan asalnya sebuah riwayat, juga perlu menjadi perhatian adalah kandungan dan ketepatan redaksinya yang menunjukkan asbâb an-nuzûl.

Dalam ilmu asbâb an-nuzûl, terdapat beberapa lafal atau redaksi yang digunakan dalam riwayat asbâb an-nuzûl. Para sahabat dalam meriwayatkan asbâb an-nuzûl menggunakan redaksi tertentu. Bentuk-bentuk redaksi asbâb an-nuzûl yang cukup beragam dapat dipetakan secara sederhana menjadi dua macam, yaitu:

1. Redaksi yang jelas dan tegas (sharîh) menunjukkan asbâb an-nuzûl. Misalnya menggunakan huruf fa’ ta’qibiyah (huruf فَـ... yang berarti “maka”) sesudah mengemukakan kronologi terjadinya peristiwa atau pertanyaan sebelumnya. فَأَنْزَلَ الله الآية ... atau فَنَزَلَتْ الآيةُ. Redaksi seperti ini menunjukkan adanya keterkaitan dan satu rangkaian dalam satu waktu antara peristiwa itu sendiri sebagai suatu sebab dengan turunnya ayat tersebut. Misalnya asbâb an-nuzûl ayat 11 surat al-Hajj.

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang laki-laki yang datang ke Medinah dan memeluk agama Islam. Jika istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan kudanya berkembang biak, ia berkata, "Agama Islam yang kupeluk ini adalah agama yang baik." Tetapi jika istrinya melahirkan anak perempuan dan kudanya tidak berkembang biak, maka ia mengatakan, "Agama Islam yang saya peluk ini adalah agama yang jelek, فَأَنْزَلَ الله الآية ... (maka Allah menurunkan ayat tersebut)."[14]

2. Redaksi yang tidak jelas dan tegas (ghairu sharîh) menunjukkan asbâb an-nuzûl, sehingga mengandung kemungkinan sebagai asbâb an-nuzûl atau bisa juga sebagai penafsiran dan penjelasan mengenai kandungan ayat tersebut.[15]

Termasuk dalam hal ini ialah redaksi yang menggunakan kata نَزَلَتْ الآية في ... (ayat ini turun berkenaan dengan …).

Ibn Taimiyah (728 H/1328 M) berpendapat bahwa ungkapan para sahabat dengan redaksi نَزَلَتْ هَذِهِ اْلاَيَةُ فِىْ كَذَا (ayat ini turun mengenai ini …), terkadang dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai sebab turunnya ayat dan terkadang pula sebagai penjelasan mengenai kandungan ayat itu, bukan sebab turunnya.[16] Sedangkan menurut az-Zarkasyî (794 H/1392 M) bahwa sudah merupakan tradisi di kalangan para sahabat dan tabiin, jika menyebutkan redaksi نَزَلَتْ هَذِهِ اْلاَيَةُ فِىْ كَذَا mereka bermaksud menyatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan kandungan ayat tersebut dan bukan menerangkan asbâb an-nuzûl ayat tersebut.[17] Riwayat yang banyak menggunakan redaksi yang tidak jelas dan tegas seperti ini umumnya adalah riwayat mursal yang bersumber dari para tabiin, dan tidak sampai pada sahabat. Seringkali asbâb an-nuzûl yang menggunakan redaksi yang tidak jelas ini diterjemahkan dengan "sebab turunnya" ayat ini. Terjemahan seperti ini kurang tepat, sebab riwayat seperti ini lebih sebagai penafsiran mengenai kandungan ayat tersebut dan bukan asbâb an-nuzûl-nya.



[1] Disampaikan dalam acara Musyawarah Kerja Ulama Tafsir Al-Qur’an Regional Sulawesi dan Kalimantan 21-23 Mei 2007 di Gorontalo.

[2] Dosen Tafsir dan Hadis STAIN Pontianak

[3] Muhammad Muhammad Abû Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, (Mesir: t.p., t.th.), h. 38-9; Ahmad `Umar Hâsyim, as-Sunnah an-Nabawiyyah wa `Ulûmuhâ Dirâsah Tahlîliyyah li as-Sunnah an-Nabawiyyah, (T.tp.: Maktabah Garîb, t.th.), h. 30-33.

[4] M. Quraish Shihab mengutip pendapat gurunya `Abdul Halim Mahmud mantan Syaikh Al-Azhar, bahwa ada dua fungsi sunnah terhadap al-Qur'an yang tidak diperselisihkan, yakni bayân ta'kîd dan bayân tafsîr. Lalu M. Quraish Shihab menambahkan fungsi taqrîr yang masih diperdebatkan, selengkapnya lihat dalam "Membumikan" Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. XIII h. 122-123.

[5] Ahmad ibn `Alî ibn Hajar al-`Asqalânî, Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz VIII h. 604-65.

[6] Muhammad Husain adz-Dzahabî setelah mendiskusikan alasan kedua pendapat tersebut, ia dan Muhammad `Abd ar-Rahmân, berkesimpulan bahwa Rasulullah SAW. telah menjelaskan banyak makna al-Qur'an kepada para sahabat, namun ia tidak menjelaskan seluruh makna al-Qur'an. Muhammad Husain adz-Dzahabî, at-Tafsîr …, Juz I h. 53; Muhammad `Abd ar-Rahmân, at-Tafsîr an-Nabawî …h. 32; Badr ad-Dîn az-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Tahqîq Muhammad Abî Fadhl Ibrâhîm, (Kairo: Maktabah Dâr at-Turâts, t.th.), Juz I h. 14.

[7] Para ulama terbagi tiga pendapatnya mengenai boleh tidaknya mengamalkan dan berpegang pada hadis daif. Pendapat pertama, hadis daif boleh diamalkan secara mutlak, baik yang berkaitan dengan masalah halal dan haram maupun masalah kewajiban dengan syarat tidak ada hadis lainnya. Pendapat kedua, hadis daif tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik berkaitan dengan fadhâil al-a`mâl (keutamaan amal) maupun halal dan haram. Pendapat ketiga, boleh mengamalkan dalam fadhâil al-a`mâl dengan syarat-syarat tertentu. Kami lebih cenderung pada pendapat yang ketiga ini sehingga itulah yang kami kemukakan di atas. Perdebatan mereka dapat dilihat dalam Ibn ash-Shalâh, `Ulûm al-Hadîts, h. 93; al-Khathîb al-Bagdâdî, al-Kifâyah fî `Il mar-Riwâyah, h. 133-134; as-Suyûthî, Tadrîb ar-Râwî fî Syarh Taqrîb an-Nawawî, h. 196; Jamâl ad-Dîn al-Qâsimî, Qawâ`id at-Tahdîts min Funûn Mushthalah al-Hadîts h. 113-117; Nûr ad-Dîn `Itr, Manhaj an-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts h. 291-294.

[8] Al-Hâfizh `Imâd ad-Dîn Abî al-Fidâ’ Ismâ`il Ibn Katsîr al-Qurasyî ad-Dimasyqî (Populer dengan nama Ibn Katsîr dan selanjutnya disebut Ibn Katsîr), Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1401 H.), Juz I h. 151; as-Suyûthî, Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl h. 15.

[9] As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm atau Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr Ma`rifah, t.th.), Cet. II Juz I h. 415.

[10] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Tahun 2006 Juz XVII h. 462.

[11] Al-Marâgî, Tafsir ..., Jilid X Juz XXVIII h. 69.

[12] Al-Bukhârî, Shâhîh al-Bukhârî, Kitâb al-Adab Bâb Shilah al-Wâlid al-Musyrik Tahqîq Syaikh `Abd al-`Azîz ibn `Abdullah ibn Bâz, (t.tp: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M), Hadis No. 5979; Muslim, Ahmad ibn Hambal, dan Abu Daud juga meriwayatkan yang sama. Shahîh Muslim, Kitâb Zakâh, Hadis No. 1003; Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hambal, Hadis No. 26373, 26399, dan 26454; Sunan Abî Daud, Kitâb az-Zakâh, Hadis No. 1668.

[13] Muslim meriwayatkan dari Ibn `Umar, bahwa ketika Rasulullah SAW. tengah dalam perjalanan dari Mekah menuju Madinah, ia salat (sunnat) di atas kendaraannya menghadap sesuai dengan arah tujuan kendaraannya, pada saat inilah turun ayat tersebut (ayat 115 suarat al-Baqarah). Shahîh Muslim Kitâb Shalâh al-Musâfirîn wa Qashrihâ, Bâb Jawâz Shalâh an-Nâfilah `ala adh-Dhâbbah fi ash-Safar haitsu Tawajjahat Hadis No. 700.

[14] As-Suyuthi, Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl h. 150.

[15] Shubhi ash-Shâlih, Mabâhits ..., h. 142; Halwah, Asbâb ..., Juz I h 3; al-Qaththân, Mabâhits ..., h. 85-86; adz-Dzarqâni, Manâhil ..., Juz I h. 114-116; ash-Shabûnî, at-Tibyân ..., h. 25.

[16] Ibn Taimiyah, Muqaddimah fî Ushûl at-Tafsîr Tahqîq oleh Adnan Zarzûr (Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1391 H/1971 M), Cet. I h. 48.

[17] Badr ad-Dîn Muhammad ibn ‘Abdullâh az-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Tahqîq Muhammad Abû Fadhl Ibrahim (Kairo: Maktabah Dâr at-Turâts, t.th.), Juz I h. 32.

Tidak ada komentar: